Sarjana terapan dianggap mampu menjawab kebutuhan industri terhadap tenaga kerja. Lulusan program sarjana terapan memiliki kemampuan spesifik sesuai kebutuhan. Besarnya muatan praktik dalam materi perkuliahan membuat sarjana terapan lebih cepat beradaptasi di dunia kerja.
Oleh
NINO CITRA ANUGRAHANTO
·3 menit baca
YOGYAKARTA, KOMPAS — Sarjana terapan dianggap mampu menjawab kebutuhan industri terhadap tenaga kerja. Lulusan program sarjana terapan memiliki kemampuan spesifik sesuai kebutuhan. Besarnya muatan praktik dalam materi perkuliahan membuat sarjana terapan lebih cepat beradaptasi di dunia kerja.
Dekan Sekolah Vokasi Universitas Gadjah Mada (UGM) Wikan Sakarinto mengungkapkan, program sarjana terapan di sekolah vokasi memberikan kemampuan yang sangat spesifik kepada setiap lulusan. Kondisi seperti itu memudahkan industri menjaring tenaga kerja.
”Skill yang dilatih sangat spesifik. Ini menjadi bentuk link and match antara industri dan pendidikan tinggi,” kata Wikan, di Gedung Rektorat UGM, Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta, Kamis (30/4/2019).
UGM berkomitmen mencetak lebih banyak lagi sarjana terapan. Hal itu dilakukan dengan meningkatkan program sarjana terapan dari sekolah vokasi. Pada 2019, sekolah vokasi tidak lagi membuka penerimaan mahasiswa baru untuk jurusan diploma tiga. Mereka justru menambah program studi (prodi) sarjana terapan dari sebelumnya 4 prodi menjadi 13 prodi.
”Kami menargetkan bisa menambah prodi sarjana terapan mencapai 21 prodi,” ucap Wikan.
Pada 2019, sekolah vokasi tidak lagi membuka penerimaan mahasiswa baru untuk jurusan diploma tiga.
Terdapat dua kluster dalam program sarjana terapan, yakni sains teknologi dan humaniora. Rinciannya, terdapat 5 prodi pada kluster humaniora, sedangkan kluster sains dan teknologi memiliki 6 prodi.
Semua prodi langsung menjurus kepada keahlian spesifik dari setiap keilmuan. Misalnya, teknik pengelolaan dan pemeliharaan infrastruktur sipil, teknologi rekayasa mesin, teknologi rekayasa internet, perbankan, manajemen, dan penilaian properti.
Wikan menjelaskan, selama menjalani pendidikan, mahasiswa belajar dengan porsi praktik 60 persen dan teori 40 persen. Skema tersebut disusun agar lulusan memiliki keterampilan kerja yang mumpuni sehingga bisa langsung diserap dunia industri.
”Kami juga mengundang praktisi atau ahli dalam dunia industri untuk mengajar sebagai dosen tamu. Ini bisa semakin menghubungkan perguruan tinggi dan dunia industri. Kurikulum yang kami susun melibatkan praktisi dari dunia industri,” tutur Wikan.
Masa studi normal sama persis dengan sarjana strata satu (S-1). Terdapat delapan semester yang harus ditempuh seorang mahasiswa. Pada semester ke-8, mahasiswa diharuskan melakukan magang di perusahaan yang sesuai dengan keilmuannya dalam waktu paling sedikit 6 bulan demi memperoleh sertifikasi kompetensi dari asosiasi usaha atau industri. Mereka juga diminta membuat prototipe sebagai tugas akhir.
Wakil Dekan Bidang Akademik dan Kemahasiswaan Sekolah Vokasi UGM Agus Nugroho menyampaikan, ada ratusan nota kesepahaman yang ditandatangani Sekolah Vokasi UGM bersama dunia industri. Komitmen untuk menghubungkan dunia pendidikan dan dunia industri itu dipegang teguh.
Selain itu, ada juga sejumlah perusahaan yang telah menelusuri mahasiswa sekolah vokasi tersebut sejak semester pertama. Ketika lulus, mahasiswa itu langsung direkrut karena proses pemagangan juga difasilitasi pihak kampus.
”Magang itu bisa dimaknai on the job training. Sebelumnya, perusahaan perlu membuat pelatihan bagi lulusan yang baru saja direkrutnya. Tetapi, konsep ini mengakselerasi lulusan-lulusan tersebut siap bekerja. Sebelum lulus sudah mendapat pelatihan terlebih dahulu,” ujar Agus.
ia menambahkan, angka serapan lulusan Sekolah Vokasi UGM memuaskan. Bahkan, untuk Prodi Teknologi Pengelolaan dan Pemeliharaan Infrastruktur Sipil, tidak ada masa tunggu bagi lulusannya untuk mendapatkan pekerjaan seusai merampungkan studi.