Sumba Berinteraksi dengan Luar Negeri Sejak Ribuan Tahun Lalu
Oleh
Aloysius Budi Kurniawan
·4 menit baca
WAINGAPU, KOMPAS — Penemuan kompleks kubur kuno di Situs Lambanapu di Desa Lambanapu, Kecamatan Kambera, Kabupaten Sumba Timur, Nusa Tenggara Timur menegaskan bahwa kawasan Sumba telah dihuni manusia secara intensif sejak ribuan tahun lalu. Bahkan, temuan-temuan bekal kubur yang ada menunjukkan adanya hubungan antara leluhur Sumba dengan luar negeri sejak dahulu kala.
Dugaan ini muncul setelah para arkeolog menemukan sebuah mangkuk perunggu berisi manik-manik berwarna-warni serta tulang kerangka anak-anak dalam proses ekskavasi bulan April ini. Sebelumnya, pada ekskavasi tahun lalu, di lubang galian yang berbeda arkeolog juga menemukan perhiasan perunggu dan giwang logam yang tidak diproduksi di Sumba.
“Lambanapu telah dihuni secara intensif sejak ribuan tahun lalu, antara 2.500 tahun hingga 1.500 tahun lalu, dan para leluhur masyarakat Sumba pada masa itu telah mengimpor produk-produk logam dari kawasan Asia Tenggara daratan di Dongson, Vietnam,” kata arkeolog senior Prof Truman Simanjuntak, Senin (29/4/2019) di sela acara Rumah Peradaban Lambanapu yang digelar Pusat Penelitian Arkeologi Nasional bersama Balai Arkeologi Bali dan Pemkab Sumba Timur di Waingapu, Sumba Timur, NTT.
Lambanapu telah dihuni secara intensif sejak ribuan tahun lalu, antara 2.500 tahun hingga 1.500 tahun lalu.
Tradisi pembuatan logam di Dongson, Vietnam sudah berkembang sekitar 500 sebelum Masehi hingga awal Masehi. Di sejumlah daerah Indonesia lainnya, produk-produk logam khas Dongson juga banyak ditemukan. Diperkirakan, logam-logam dari Asia Tenggara daratan itu ditukarkan dengan hasil-hasil bumi masyarakat setempat.
Berdasarkan hasil penanggalan, hunian di Lambanapu sudah mulai ada sejak 2.000-an tahun lalu. Namun demikian, ini baru indikator hunian, belum mendeteksi sejak kapan awal mula kedatangan manusia di daerah tersebut.
Truman memperkirakan kawasan Pulau Sumba sudah mulai dihuni sekitar 3.000 hingga 3.500 tahun lalu oleh para penutur Austronesia yang bermigrasi ke daerah itu. Bahkan, kemungkinan sudah ada ras manusia lain yang mendiami Sumba sebelum orang-orang Austronesia datang, yaitu ras Australomelanesid.
“Dugaan ini membutuhkan penelitian lebih lanjut dengan mencari jejak-jejak peninggalan ras Australomelanesid yang memiliki kebiasaan tinggal di gua-gua. Dengan melihat ciri-ciri fisik masyarakat Sumba, diperkirakan sempat terjadi percampuran ras di Sumba, antara ras Australomelanesid dengan ras Mongoloid,” tambahnya.
Dengan melihat ciri-ciri fisik masyarakat Sumba, diperkirakan sempat terjadi percampuran ras di Sumba, antara ras Australomelanesid dengan ras Mongoloid.
Angkat wilayah sumba
Penelitian-penelitian arkeologi di Sumba beberapa tahun terakhir berhasil memasukkan daerah ini dalam daftar literatur penelitian global. Kekayaan temuan-temuan di Situs Lambanapu salah satunya bisa menjadi pengetahuan dari para peneliti seluruh dunia.
Hasil-hasil temuan di kompleks kubur Situs Lambanapu menunjukkan adanya kehidupan yang kompleks di Sumba sejak ribuan tahun lalu yang ditandai dengan adanya struktur sosial masyarakat, kelas ekonomi, tradisi, kreativitas dan kearifan-kearifan lokal di dalamnya. Diharapkan, temuan di Situs Lambanapu bisa menumbuhkan kebanggaan bagi masyarakat Sumba Timur dan mereka bisa mengapresiasi capaian-capaian para leluhur mereka tersebut.
Bupati Sumba Timur Gideon Mbiliyora berharap Situs Lambanapu bisa dikembangkan menjadi Pusat Studi Peradaban sekaligus destinasi wisata baru di Sumba Timur. Harapan ini juga muncul dari masyarakat setempat yang merasakan bagaimana minat wisatawan berkunjung ke Sumba Timur meningkat pasca Situs Lambanapu diteliti dan banyak dipublikasikan.
Setelah Puslit Arkenas melakukan penelitian terakhir 19-30 April 2019 di Situs Lambanapu, Nggaeroti, sesepuh Desa Lambanapu beserta sejumlah warga berkeinginan agar kotak galian ekskavasi yang berisi kerangka, tempayan, dan aneka peninggalan tidak ditutup lagi agar bisa disaksikan masyarakat serta wisatawan. Namun demikian, karena kondisi tulang-belulang, tempayan, dan aneka macam peninggalan dalam situs tersebut rapuh dan riskan rusak, maka pihak Puslit Arkenas berencana menimbun kembali kotak galian tersebut.
“Sebenarnya jika pemerintah daerah setempat memiliki anggaran yang cukup untuk mencetak replika-replika kerangka serta kubur-kubur tempayan ini, maka kotak galian Situs Lambanapu tidak perlu kami timbun lagi. Tapi, sampai sekarang anggaran tersebut belum ada dan demi terjaganya keamanan temuan, maka kami harus menutupnya lagi. Suatu saat, jika tersedia dana cukup untuk membuat replika, maka kotak galian bisa dibuka kembali,” kata Ketua Tim Penelitian Situs Lambanapu, Retno Handini dari Puslit Arkenas.
Ke depan, Situs Lambanapu bisa dikembangkan menjadi situs lapangann sekaligus Pusat Studi Austronesia. Seperti di beberapa situs lainnya, temuan-temuan yang ada mesti dibuatkan replikanya, kemudian temuan aslinya diangkat dan disimpan di museum setempat. Dengan demikian, masyarakat dan pengunjung tetap bisa menyaksikan kondisi awal situs tersebut dengan melihat replika-replika temuan yang dibentuk sangat mirip dengan aslinya.
Ke depan, Situs Lambanapu bisa dikembangkan menjadi situs lapangann sekaligus Pusat Studi Austronesia.
Untuk menyosialisasikan hasil-hasil penelitian di Situs Lambanapu, Puslit Arkenas bersama Balai Arkeologi Bali dan Pemkab Sumba Timur menggelar kegiatan Rumah Peradaban Lambanapu di Waingapu, Senin (29/4/2019). Kegiatan ini diikuti 700 peserta terdiri dari siswa-siswi SMP, SMA, dan masyarakat umum.