Turun Takhta, Kaisar Akihito Berterima Kasih kepada Rakyat Jepang
Oleh
Ayu Pratiwi
·3 menit baca
TOKYO, RABU — Kaisar Jepang Akihito, yang mengakhiri takhtanya selama 30 tahun pada Selasa (30/4/2019), berterima kasih kepada masyarakat atas dukungannya dan berharap era baru Jepang yang dimulai Rabu, 1 Mei 2019, akan penuh damai dan menghasilkan banyak manfaat kepada masyarakat.
”Hari (Selasa) ini, saya menyelesaikan tugas saya sebagai kaisar. Saya sangat beruntung dapat melaksanakan tugas saya sebagai kaisar dengan kepercayaan dan penghormatan yang mendalam dari rakyat Jepang. Kepada orang yang menerima dan mendukung saya sebagai simbol, saya mengucapkan terima kasih yang tulus,” tutur Akihito saat upacara di Istana Kekaisaran Tokyo, Jepang, Selasa sore, yang dihadiri sekitar 300 orang dan disiarkan secara langsung oleh televisi nasional.
Ia beserta istrinya, Permaisuri Michiko, berharap, era baru Jepang bernama Reiwa yang dimulai Rabu besok akan damai dan bermanfaat kepada masyarakat. ”Kami berdoa untuk perdamaian dan kebahagiaan negara kita dan orang lain di dunia ini,” lanjutnya.
Beberapa saat sebelumnya, Perdana Menteri Jepang Shinzo Abe berterima kasih kepada Akihito dan Michiko atas pelayanan mereka selama puluhan tahun. Seperti dikutip The Guardian, ia menyatakan, pasangan itu ”berdiri di samping masyarakat dan memberi mereka keberanian dan harapan”.
Selama masa kepemerintahannya, Akihito aktif berupaya meringankan ingatan pedih masyarakat dari kekalahan Jepang pada Perang Dunia II. Ia beserta istrinya, Permaisuri Michiko, juga dikenal sangat dekat dengan masyarakat dan sering terlihat berada di sisi mereka ketika dalam masa kesulitan, seperti saat terjadi bencana alam.
Akihito merupakan raja pertama yang naik takhta di bawah konstitusi pascaperang. Konstitusi itu menempatkan kekaisaran sebagai simbol rakyat, tanpa kekuatan atau pengaruh politik. Kaisar Jepang yang juga disebut Takhta Krisantemum eksis selama lebih dari 15 abad dan merupakan monarki tertua di dunia. Sebelum 1947, kaisar memiliki pengaruh besar terhadap dinamika politik.
Selama masa kepemerintahannya, Akihito aktif berupaya meringankan ingatan pedih masyarakat dari kekalahan Jepang pada Perang Dunia II. Ia beserta istrinya, Permaisuri Michiko, juga dikenal sangat dekat dengan masyarakat.
Berbagai tantangan dialami Akihito saat masa kepemimpinannya yang disebut sebagai Era Heisei. Selama era itu, Jepang mengalami stagnasi ekonomi, berbagai bencana alam, dan perubahan cepat teknologi. Meskipun demikian, Akihito sering dikagumi atas perannya dalam memperbaiki reputasi Jepang setelah perang serta membela kedamaian dan membangun hubungan yang lebih dekat antara kaisar dan masyarakat.
Dalam pidato yang disampaikannya pada 2016, Akihito mengaku khawatir atas usianya yang sudah lanjut dan kemampuannya untuk melaksanakan tugas sepenuhnya. Akihito yang kini berusia 85 tahun pernah menjalani perawatan untuk kanker prostat dan operasi jantung.
Era baru
Upacara pada Selasa sore itu menghadirkan PM Jepang Shinzo Abe, Putra Mahkota Naruhito, Putri Mahkota Masako, serta ketua majelis parlemen dan mahkamah agung. Bangsawan kekaisaran membawa segel negara dan pribadi, beserta dua dari tiga harta karun Jepang, yakni sebuah pedang dan permata. Bersama-sama dengan cermin, harta karun itu menjadi simbol takhta. Dikatakan, harta karun itu berasal dari mitologi kuno.
”Sambil menjaga hati kita di jalan yang telah dilalui kaisar, kita akan berupaya sebaik mungkin demi menciptakan masa depan yang cerah dan membanggakan untuk Jepang, serta penuh kedamaian dan harapan,” ujar Abe sebelum pernyataan dari Akihito.
Sebelumnya, Selasa pagi, Akihito menjalankan sebuah ritual, ketika ia memberikan penghormatan serta melaporkan pengunduran dirinya sebagai kaisar kepada Dewi Matahari Shinto, di sebuah tempat suci di Istana Kekaisaran Tokyo. Menurut mitologi, keluarga kekaisaran Jepang adalah turunan dari Dewi Matahari Shinto.
Rabu, 1 Mei, upacara lain akan digelar ketika Naruhito akan mewarisi takhta kaisar dan memimpin Era Reiwa. Era baru itu secara resmi dimulai pada tengah malam ini.
Naruhito, yang namanya dalam huruf China berarti orang yang berbudi luhur, pernah belajar sejarah di University of Oxford dan merupakan pemain biola. Ia berjanji akan mewarisi pengabdian ayahnya demi kedamaian dan kasih sayangnya terhadap rakyat, sambil menjelajahi gaya kepemimpinannya sendiri. (REUTERS/AP/AFP)