Ubah Pola Pikir dari ”Teacher Center” Menjadi ”Student Center”
Untuk menumbuhkan daya kritis siswa, pola pembelajaran lama, seperti menghafal dan berpusat pada guru, perlu diubah menjadi terpusat kepada siswa. Dengan cara itu, para siswa menjadi aktif terlibat dalam pembelajaran, atau sebagai subyek, bukan obyek.
Oleh
ADITYA PUTRA PERDANA
·2 menit baca
SEMARANG, KOMPAS — Untuk menumbuhkan daya kritis siswa, pola pembelajaran lama, seperti menghafal dan berpusat pada guru, perlu diubah menjadi terpusat kepada siswa. Dengan cara itu, para siswa menjadi aktif terlibat dalam pembelajaran, atau sebagai subyek, bukan obyek.
Guru berprestasi yang lama mengajar di SDN Deresan, Depok, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta, Nur Fitriana, mengatakan hal itu pada Bincang Kompas, ”Berpikir Kritis dalam Sistem Pendidikan Dasar”, di Hotel Grasia, Kota Semarang, Jawa Tengah, Selasa (30/4/2019).
”Kita harus mengubah mindset dari teacher center menjadi student center. Harus ada life skill (keterampilan hidup) yang diberikan sehingga jiwanya sehat dan raganya kuat. Kita, sebagai pendidik, tidak hanya menanam, tetapi juga menumbuhkan keunikan tiap-tiap siswa,” kata Nur.
Kita harus mengubah mindset dari teacher center menjadi student center. Harus ada life skill (keterampilan hidup) yang diberikan sehingga jiwanya sehat dan raganya kuat. Kita, sebagai pendidik, tidak hanya menanam, tetapi juga menumbuhkan keunikan tiap-tiap siswa.
Nur Fitriana mencuat karena terpilih menjadi salah satu dari 10 guru Indonesia yang mengikuti program Honeywell Educator’s Space Academy (HESA) di US Space & Rocket Center di Huntsville, Amerika Serikat, pada Juni 2018. Sejak 2015, ia menghadirkan praktik pembelajaran yang menyenangkan dan kreatif di tengah segala keterbatasan.
Pembantu Rektor IV Bidang Kerja Sama Kelembagaan dan Internasionalisasi Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW) Joseph Ernest Mambu mengatakan, siswa belajar sejatinya mempertanyakan banyak hal. Namun, yang terjadi selama ini, selama puluhan tahun, lebih banyak pada praktik menghafalkan pengetahuan.
”Memang ada yang harus dihafal, seperti Pancasila. Namun, pendidikan yang dipertanyakan, yakni adanya penekanan berlebihan pada sistem menghafal. Banyak media bagi anak-anak untuk mendapat informasi dan itu tak mesti dihafal. Menyaring informasi ialah bagian dari berpikir kritis,” katanya.
Diskusi ”Berpikir Kritis dalam Sistem Pendidikan Dasar” digelar harian Kompas dan Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga. Dari dialog, diharapkan ada sumbangsih pemikiran dan wacana baru mengoptimalkan sistem pendidikan dasar demi kesiapan siswa menghadapi tantangan.
Hadir sebagai pembicara adalah Kepala Dinas Pendidikan Kota Salatiga Yuni Ambarwati; guru berprestasi asal Kabupaten Sleman DIY, Nur Fitriana; pendiri Sanggar Anak Alam Yogyakarta, Sri Wahyaningsih; dan Ketua Program Studi Pendidikan Guru SD Universitas Kristen Satya Wacana Mawardi.
Kepala Desk Nusantara Kompas Gesit Ariyanto mengatakan, pada era revolusi industri 4.0, arus informasi mengalir dengan cepat. Banyak fenomena yang merupakan buah dari penyebarluasan informasi yang belum teruji kebenarannya. Dalam hal ini, penyaringan informasi menjadi hal penting.
”Mudah-mudahan akan terbuka kesadaran kita akan pentingnya berpikir kritis dimulai sejak dini. Diskusi ini diharapkan bakal mendorong masyarakat untuk berdaya melawan hal-hal buruk,” ujar Gesit.