JAKARTA, KOMPAS — PT Bank Tabungan Negara (Persero) Tbk menerbitkan obligasi berkelanjutan III, tahap II, tahun 2019 dengan nilai maksimal Rp 5 triliun. Alternatif pendanaan melalui penerbitan obligasi ini akan digunakan untuk ekspansi penyaluran kredit.
Direktur Keuangan dan Treasury BTN Iman Nugroho Soeko mengatakan, obligasi itu diterbitkan dalam tiga seri, yakni Seri A bertenor 1 tahun dengan kupon berkisar 7 persen-7,75 persen, Seri B dengan tenor 3 tahun (kupon 8 persen-8,75 persen), dan Seri C bertenor 5 tahun (kupon 8,25 persen-9 persen).
Dari kapasitas maksimal pendanaan melalui obligasi mencapai Rp 5 triliun, BTN hanya memasang target dana sebesar Rp 3 triliun. ”Target lebih kecil dari kuota penawaran umum berkelanjutan karena BTN fokus meningkatkan porsi dana murah,” kata Iman di Jakarta, Rabu (1/5/2019).
Perseroan hanya menargetkan pendanaan Rp 3 triliun dari potensi pendanaan Rp 5 triliun karena target pembiayaan wholesale sepanjang 2019 menurun menjadi Rp 12,5 triliun, dari target tahun lalu sekitar Rp 18 triliun.
Iman menuturkan, tujuan lain dari penerbitan obligasi ini adalah mitigasi risiko ketidakseimbangan aset antara kredit pemilikan rumah (KPR) jangka panjang dan dana pihak ketiga (DPK) yang umumnya berjangka pendek.
Pertumbuhan dana pihak ketiga dari BTN mengalami perlambatan, dengan tumbuh 10,98 persen secara tahunan pada triwulan I-2019 menjadi Rp 215,83 triliun. Padahal, pada periode yang sama tahun 2018, pertumbuhan DPK mencapai 23,45 persen, Rp 194,48 triliun.
”Penerbitan obligasi ini menjadi alternatif pendanaan untuk mendukung ekspansi penyaluran kredit,” ucapnya.
Komponen RIM
Sebelumnya, Bank Indonesia membuka peluang untuk menghitung instrumen utang selain obligasi yang diterbitkan perbankan masuk dalam komponen rasio intermediasi makroprudensial (RIM).
Direktur Departemen Kebijakan Makroprudensial BI Linda Maulidina berencana menjadikan Kontrak Investasi Kolektif Efek Beragun Aset (KIK EBA), pinjaman bilateral, hingga global bonds sebagai komponen RIM. Hal ini bertujuan mengantisipasi risiko ketidakseimbangan aset (maturity mismatch).
”Kami tentu akan melihat kecenderungan penerbitan surat utang oleh perbankan. Namun, untuk saat ini, kami masih mengacu pada ketentuan bahwa yang dihitung adalah surat utang, baik jangka menengah maupun jangka panjang,” ujarnya.
Penghitungan RIM sebagai acuan likuiditas perbankan dinilai lebih luas dibandingkan dengan loan to deposit ratio (LDR). Pasalnya, RIM memasukkan kepemilikan instrumen utang sebagai indikator pembiayaan dan penerbitan instrumen utang sebagai indikator pendanaan.
BI telah menerbitkan regulasi terkait dengan relaksasi RIM dari 80 persen-92 persen menjadi 84 persen-94 persen. Hal ini dilakukan guna memberikan ruang likuiditas lebih bagi perbankan sehingga dapat terus memacu pertumbuhan pembiayaan.