Serikat buruh di Kota Medan menuntut kenaikan upah minimum Provinsi Sumatera Utara yang dinilai sangat rendah dibandingkan daerah lain. Buruh juga menuntut hak normatif lain seperti jaminan kesehatan, jaminan hari tua, dan penghapusan sistem alih daya atau outsourcing.
Oleh
NIKSON SINAGA
·3 menit baca
MEDAN, KOMPAS — Serikat buruh di Kota Medan menuntut kenaikan upah minimum Provinsi Sumatera Utara yang dinilai sangat rendah dibandingkan daerah lain. Buruh juga menuntut hak normatif lain, seperti jaminan kesehatan, jaminan hari tua, dan penghapusan sistem alih daya atau outsourcing.
Hal itu disuarakan buruh yang menggelar unjuk rasa memperingati Hari Buruh Internasional atau May Day pada Rabu (1/5/2019). Unjuk rasa dilakukan antara lain di depan Kantor Gubernur Sumut, Medan.
Sejak pagi, sejumlah organisasi buruh bergantian menyampaikan aspirasi. Buruh berunjuk rasa dengan membentangkan spanduk, poster, dan berorasi. Akibat aksi itu, Jalan Pangeran Diponegoro di depan Kantor Gubernur Sumut ditutup total.
Sumatera Utara adalah daerah industri yang cukup berkembang. Namun, upah minimum Provinsi Sumut hanya Rp 2,3 juta, jauh di bawah provinsi lain.
”Sumatera Utara adalah daerah industri yang cukup berkembang. Namun, upah minimum Provinsi Sumut hanya Rp 2,3 juta, jauh di bawah provinsi lain,” kata Ketua Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia Sumut Willy Agus Utomo.
Willy mengatakan, upah minimum provinsi (UMP) Sumut tersebut terjebak Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan. Menurut aturan itu, kenaikan UMP harus sesuai pertumbuhan ekonomi daerah ditambah laju inflasi nasional.
”UMP Sumut pun akhirnya terjebak di angka yang sangat rendah. Karena itu, kami juga meminta PP No 78 Tahun 2015 dicabut,” katanya.
Willy mengatakan, Sumut merupakan daerah industri yang cukup berkembang. Pertumbuhan ekonominya pun hampir selalu lebih tinggi dibandingkan rata-rata angka nasional. Namun, UMP Sumut masih jauh di bawah Aceh yang mencapai Rp 2,9 juta, Bangka Belitung Rp 2,9 juta, dan Sumsel Rp 2,8 juta.
Jika kenaikan UMP hanya ditentukan dengan pertumbuhan ekonomi dan laju inflasi nasional, lanjut Willy, UMP Sumut akan terjebak di angka yang rendah. Mereka pun menuntut agar penentuan UMP dibuat dengan survei kebutuhan hidup layak.
Mereka pun menuntut agar penentuan UMP dibuat dengan survei kebutuhan hidup layak.
Ketua Dewan Pengupahan Provinsi Sumut Maruli Silitonga mengatakan, kenaikan UMP hanya bisa dilakukan sesuai rumus dalam PP Nomor 78 Tahun 2015. Kenaikan UMP juga harus memenuhi rasa keadilan bagi buruh dan juga pengusaha.
Maruli yang juga Kepala Bidang Hubungan Industrial Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Pemprov Sumut mengatakan, UMP hanya jaring pengaman untuk upah minimum seluruh kabupaten/kota di Sumut.
”Di daerah industri di Sumut, UMK-nya sudah besar. Di Medan sudah Rp 2,96 juta dan Deli Serdang Rp 2,93 juta,” katanya.
Sekretaris Dewan Pimpinan Daerah Asosiasi Pengusaha Indonesia Sumut Laksamana Adhyaksa menilai, UMP Sumut sejauh ini telah memenuhi rasa keadilan bagi semua pihak. ”Yang perlu diingat, UMP hanya jaring pengaman untuk karyawan yang baru bekerja. Ada hal lain yang tidak kalah penting, yakni kenaikan gaji berkala dan gaji berjenjang,” katanya.
Laksamana mengatakan, para pengusaha selalu mempertimbangkan kebutuhan hidup layak karyawan. Mereka selalu berupaya memperhatikan kenaikan gaji berkala dan berjenjang agar para pekerja bisa memenuhi kebutuhan dasar seperti pangan, sandang, perumahan, dan pendidikan anak-anak buruh.