Ribuan buruh dari sejumlah organisasi serikat pekerja di Jawa Timur menggelar demonstrasi memperingati Hari Buruh Internasional, Rabu (1/5/2019). Mereka kembali menyuarakan kesejahteraan. Dalam aksi itu, dua demonstran ditangkap polisi.
Oleh
IQBAL BASYARI
·5 menit baca
SURABAYA, KOMPAS — Ribuan buruh dari sejumlah organisasi serikat pekerja di Jawa Timur menggelar demonstrasi memperingati Hari Buruh Internasional, Rabu (1/5/2019). Mereka kembali menyuarakan kesejahteraan. Dalam aksi itu, dua demonstran ditangkap polisi.
Demonstrasi dipusatkan di depan Gedung Negara Grahadi dan depan Kantor Gubernur Jatim di Surabaya, Jatim. Mereka datang silih berganti sejak pukul 09.00 dan berorasi di tengah jalan. Arus kendaraan di titik-titik tersebut tersendat akibat lebih dari setengah badan jalan digunakan oleh demonstran. Aksi itu selesai sekitar pukul 16.00.
Dalam aksi yang berlangsung di depan Gedung Negara Grahadi sempat terjadi gesekan antara demonstran dari Front Mahasiswa Nasional (FMN) dan aparat kepolisian. Dua demonstran yang dianggap memprovokasi ditangkap. Massa dari kelompok itu menggunakan pakaian hitam dan menutup wajah dengan masker.
Salah satu massa FMN, Anindya Sabrina, mengatakan, massa berjumlah sekitar 40 orang dari FMN sudah diusir sejak berjalan menuju Gedung Negara Grahadi. Saat mendekat ke barisan demonstran lain dari elemen buruh sempat terjadi ketegangan dan dua orang di antaranya ditangkap.
Kedua demonstran melakukan provokasi.
Wakil Kepala Kepolisian Resor Kota Besar Surabaya Ajun Komisaris Besar Leonardus Simarmata menuturkan, massa dari FMN tidak memiliki izin dan pemberitahuan aksi. Selain itu, kehadiran mereka juga dianggap memprovokasi keadaan sehingga dikhawatirkan menimbulkan kericuhan.
Namun, seusai penangkapan dua demonstran, massa tetap dibiarkan melakukan aksi hingga pukul 16.00 dengan pengawasan ketat kepolisian. ”Kedua demonstran melakukan provokasi,” ujarnya.
Tuntut kesejahteraan
Saat demonstrasi, buruh menuntut perbaikan kesejahteraan melalui revisi Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan. Mereka juga menyuarakan penghapusan outsourcing, peningkatan jaminan sosial, jaminan hari tua, dan jaminan kesehatan.
Ketua Umum Konfederasi Rakyat Pekerja Indonesia (KRPI) Rieke Diah Pitaloka ditemui di depan Gedung Negara Grahadi mengatakan, persoalan mengenai buruh yang tidak kunjung selesai disebabkan solusi yang diberikan hanya menyelesaikan masalah di hilir. Adapun masalah di hulu belum diselesaikan sehingga masalah-masalah lanjutan akan terus muncul.
Oleh karena itu, salah satu solusi yang harus dilakukan adalah menyelaraskan kebijakan di sektor hulu dan hilir melalui pembentukan badan riset dan inovasi nasional. Menurut Rieke, organisasi itu bisa menyelaraskan penyelesaian masalah di tingkat hulu dan hilir. ”Pekerja adalah unsur terpenting dalam masalah industri sehingga harus menjadi prioritas dalam membuat kebijakan,” katanya.
Menurut anggota DPR Komisi VI dari Fraksi PDI-P itu, tidak ada satu pun negara industri yang kuat tanpa memperkuat posisi buruh. Karena itu, industri akan berkembang jika buruh ikut diperhatikan kesejahteraannya.
Ketua Bidang Buruh Industri KRPI Djamaludin Malik menambahkan, KRPI mendukung revisi Peraturan Pemerintah No 78/2015 tentang Pengupahan. KRPI merekomendasikan untuk merevisi PP itu, khususnya Pasal 44 dan 45, dengan memasukkan penambahan item komponen kebutuhan hidup layak (KHL) yang menitikberatkan pada kualitas KHL, bukan kuantitas.
”KHL yang dimaksud harus melalui mekanisme musyawarah mufakat dalam perundingan tripatrit di Dewan Pengupahan,” ujar Djamal.
Selain itu, KRPI juga meminta pemerintah mengevaluasi regulasi turunan dari PP No 78/2015 agar tidak terjadi tumpang tindih kebijakan. Dengan demikian, ketidaksesuaian kebijakan antara PP dan regulasi turunannya bisa dihindari.
Dia mencontohkan, dalam PP No 78/2015 diamanatkan semua perusahaan wajib membuat struktur dan skala upah. Kemudian, melampirkan struktur dan skala upah tersebut saat mendaftarkan peraturan perusahaan dan perjanjian kerja bersama ke dinas tenaga kerja.
Sementara dalam aturan turunan PP tersebut, yaitu Peraturan Menteri Tenaga Kerja Nomor 1 Tahun 2017, kata ”melampirkan” diganti dengan ”memperlihatkan”. Dengan demikian, penggunaan diksi yang berbeda di dalam PP dan permenaker tersebut menimbulkan perbedaan dalam praktik dan dampak hukum dari dijalankannya PP No 78/2015.
KRPI, lanjut Djamaludin, juga meminta pengawasan dan penegakan hukum ketenagakerjaan diperkuat, khususnya dalam hal implementasi kebijakan pengupahan. ”Revisi terhadap PP No 78/2015 tanpa disertai penguatan dari sisi pengawasan dan penegakan hukumnya tidak akan memberikan dampak positif terhadap perbaikan kualitas upah pekerja Indonesia,” katanya.
Banyak jurnalis di Surabaya yang digaji di bawah UMR. Digaji hanya Rp 2 juta tidak lebih dari UMR yang sudah ditetapkan oleh Pemerintah Kota Surabaya. Apa yang bisa dilakukan oleh mereka? Artinya tidak ada.
Ketua Aliansi Jurnalis Independen Kota Surabaya Miftah Farid mengatakan, kesejahteraan buruh di Jatim, khususnya buruh media, masih di bawah upaya laik. Farid menyebut tidak semua daerah di Jatim berpihak kepada pekerja media. Bahkan, di Kota Surabaya masih ada pekerja media yang digaji Rp 2 juta per bulan, padahal ada aturan dari Pemkot Surabaya yang mewajibkan upah pekerja media adalah upah minimum regional (UMR) ditambah 20 persen gaji.
”Banyak jurnalis di Surabaya yang digaji di bawah UMR. Digaji hanya Rp 2 juta tidak lebih dari UMR yang sudah ditetapkan oleh Pemerintah Kota Surabaya. Apa yang bisa dilakukan oleh mereka? Artinya tidak ada,” kata Farid.
Selain itu, lanjut Farid, bukan hanya soal gaji, melainkan juga perkara perlindungan kesehatan dan perlindungan ketenagakerjaan bagi pekerja media pun dianggap belum laik. ”Jurnalis tidak hanya diikat dengan undang-undang profesi, tetapi juga diikat dengan undang-undang ketenagakerjaan. Ada kemudian soal kesejahteraan, perlindungan, yang sama sekali jauh dari kata ideal bagi jurnalis,” ucapnya.
Gubernur Jawa Timur Khofifah Indar Parawansa menegaskan, Pemerintah Provinsi Jawa Timur siap memfasilitasi rekomendasi para buruh hingga tingkat pusat. Salah satu rekomendasi yang sampai saat ini selalu dibawa para buruh adalah Peraturan Pemerintah No 78/2015 tentang Pengupahan. Para buruh ingin agar pemerintah merevisi PP itu.
”Mereka sudah menyampaikan kepada pusat, saya juga sudah menyampaikan format revisi PP No 78 ini yang diharapkan oleh seluruh serikat pekerja,” kata Khofifah.