Baru-baru ini, publik dikejutkan dengan aksi perundungan remaja di Kalimantan Barat yang kabarnya berawal dari dunia maya. Pendapat warganet pun terbelah, ada yang mengutuk aksi perundungan tersebut hingga meluncurkan petisi, tetapi tak sedikit pula yang memandang bahwa kasus kriminal yang melibatkan anak-anak harus ditangani berbeda.
Oleh
IDA AYU GRHAMTIKA SAITYA
·3 menit baca
Baru-baru ini, publik dikejutkan dengan aksi perundungan remaja di Kalimantan Barat yang kabarnya berawal dari dunia maya. Pendapat warganet pun terbelah, ada yang mengutuk aksi perundungan tersebut hingga meluncurkan petisi, tetapi tak sedikit pula yang memandang bahwa kasus kriminal yang melibatkan anak-anak harus ditangani berbeda. Lantas bagaimanakah hukum pidana anak di Indonesia?
Sebelumnya, mari kita berangkat terlebih dahulu dari United Nations Convention on the Rights of the Child tahun 1987 yang pada pasal 3 memuat mengenai best interests of the child atau kepentingan terbaik bagi anak. Hal ini kemudian menjadi salah satu prinsip dasar dalam perlindungan hak anak. Bahwa sebuah kebijakan atau putusan hukum wajib mengedepankan unsur kepentingan terbaik bagi anak.
Indonesia memiliki Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak yang memperlakukan anak sebagai aset bangsa. Di dalamnya terdapat pengaturan mengenai diversi atau pengalihan penyelesaian perkara anak dari proses peradilan pidana ke proses di luar peradilan pidana. Ini merupakan bentuk keadilan restoratif yang bertujuan memberikan pendidikan pemulihan kepada pelaku dan korban.
Sejatinya anak adalah korban kekerasan berlapis dari lingkungannya, entah itu di rumah, sekolah, atau lingkungan sekitar tempat tinggal.
Akan tetapi, diversi bukanlah tanpa syarat. Proses ini hanya bisa dikenakan bagi pelanggaran dengan dakwaan di bawah tujuh tahun penjara dan bukan pengulangan tindak pidana. Proses diversi melibatkan pelaku, korban, keluarga kedua belah pihak, tokoh agama, masyarakat, dan aparat penegak hukum sebagai fasilitator. Hasil dari proses ini untuk menentukan jenis ”hukuman” yang harus diberikan dengan tetap memenuhi rasa keadilan, tetapi juga dapat memulihkan kondisi pelaku dan korban.
Paradigma yang digunakan adalah bahwa penjara bukan solusi bagi anak-anak. Tujuan hukuman bagi anak yang berhadapan dengan hukum bukanlah balas dendam. Sejatinya anak adalah korban kekerasan berlapis dari lingkungannya, entah itu di rumah, sekolah, atau lingkungan sekitar tempat tinggal. Oleh karena itu, mereka harus direhabilitasi agar tetap dapat memperoleh hak-haknya dan melanjutkan kehidupan.
Negara lain
Inggris Raya mengenal konsep pertanggungjawaban oleh orangtua apabila anak mereka yang berusia di bawah 10 tahun melakukan tindak pidana berulang atau orangtua tidak melakukan langkah untuk mengatur perilaku anaknya tersebut. Setidaknya ada tiga jenis pertanggungjawaban yang diminta dari orangtua.
Pertama, orangtua mengikuti program pengasuhan anak. Kedua, orangtua sukarela menandatangani kontrak yang menandakan mereka akan membantu sang anak menjauhi tindak kriminal. Ketiga, pengadilan memerintahkan tindakan tertentu bagi orangtua dan anak dalam kurun waktu maksimal 12 bulan.
Parenting order ini tidak membuat sang orangtua memiliki jejak kriminal, tetapi bisa dibawa ke pengadilan apabila tidak melaksanakan perintah tersebut.
Lain halnya dengan di Belanda, terdapat tiga jenis hukuman dalam tindak pidana anak, yakni penjara, pelayanan komunitas atau program belajar, dan denda. Memasukkan anak ke dalam penjara hanya bisa dikenakan bagi yang melakukan tindak kriminal serius. Maksimal 12 bulan jika usia di bawah 16 tahun dan 24 bulan bagi yang berusia 16-17 tahun (Art.77iCC).
Pengaturan di Indonesia sebenarnya tidak kalah progresif dibanding negara-negara lain. Akan tetapi, yang masih disayangkan adalah stigma dari masyarakat mengenai kriminalisasi anak. Padahal anak yang berhadapan dengan hukum adalah anak Indonesia yang menjadi kewajiban kita bersama. Untuk dilindungi hak-haknya dan keberlangsungan hidupnya. (IDA AYU GRHAMTIKA SAITYA/LITBANG KOMPAS)