JAKARTA, KOMPAS - Mahkamah Agung memberikan sanksi pada tiga hakim Pengadilan Negeri Cibinong, Kabupaten Bogor, yang memvonis bebas pelaku kekerasan seksual pada anak. Sanksi itu diberikan sebagai bentuk penindakan pelanggaran hukum acara, serta keberpihakan pada penanganan perkara terkait hak sipil dan jender.
Kepala Biro Hukum dan Humas Mahkamah Agung (MA), Abdullah, mengatakan, pada 29 April 2019 lalu, MA menjatuhkan sanksi kepada tiga hakim Pengadilan Negeri Cibinong. Ketiga hakim, yaitu MAA, CG, dan RAR, merupakan majelis hakim yang memeriksa perkara terdakwa HI (41), pelaku kekerasan seksual terhadap dua anak tetangganya yang berusia 14 tahun dan 7 tahun.
Pada 25 Maret 2019, majelis hakim tersebut memutus bebas terdakwa yang sebelumnya dituntut 14 tahun penjara dan denda Rp 30 juta karena melanggar pasal 81 ayat 2 dan pasal 82 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak. Dalam proses persidangan tersebut, MA menemukan adanya kaidah hukum acara yang tidak diikuti oleh majelis hakim.
"Terkait persidangan perkara itu, banyak masyarakat yang melapor. Pimpinan MA lalu memerintahkan Badan Pengawasan untuk melakukan klarifikasi dan verifikasi. Kami menemukan, korban dilarang ditemani pendamping. Kemudian, majelis hakim yang menjalani persidangan hanya satu orang, tanpa izin dulu pada ketua Mahkamah Agung," tutur Abdullah saat dihubungi di Jakarta, Rabu (1/5/2019).
Atas temuan awal tersebut, ketiga hakim itu diberi sanksi dengan ditarik ke Pengadilan Tinggi Bandung untuk mendapat pembinaan. Ketiganya tidak diberi kewenangan untuk menyidangkan perkara sebelum masalah mereka selesai.
Selain terhadap tiga hakim tersebut, MA melalui Pengadilan Tinggi Bandung juga memberi sanksi kepada Ketua Pengadilan Negeri (PN) Cibinong, berinisial LJ. Hukuman berupa penarikan ke Pengadilan Tinggi Bandung dilakukan karena kelalaian LJ dalam membina dan mengawasi anggotanya. Hari ini, Rabu (1/5), MA pun melantik Ketua PN Cibinong yang baru.
Langkah tersebut, menurut Abdullah, dilakukan MA dalam rangka mengimplementasikan Peraturan Mahkamah Agung (Perma) Nomor 3 Tahun 2017 tentang Pedoman Mengadili Perkara Perempuan Berhadapan dengan Hukum. Pasal 9 dalam aturan itu, misalnya, adanya pendamping bagi perempuan berhadapan dengan hukum yang mengalami hambatan fisik dan psikis.
Secara umum, Perma itu berisi pedoman penanganan perkara yang berkaitan dengan hak sipil dan politik, termasuk perilaku diskriminasi terhadap jender, khususnya perempuan. "Penegakan peraturan tersebut merupakan komitmen Pimpinan dan seluruh jajaran Mahkamah Agung," kata Abdullah.
Konsistensi
Peneliti Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) Maidina Rahmawati, mengapresiasi upaya MA dalam menindaklanjuti masalah tersebut. Menurutnya, MA harus konsisten memastikan keadilan bagi korban kekerasan seksual.
"Pastinya kami meminta MA agar konsisten dan jelas keberpihakannya pada keadilan korban, dalam setiap keputusannya," ujarnya.
Sementara, Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Lalola Easter, yang sempat mengkritisi hakim MA beberapa waktu lalu, menilai MA belum mantap dalam mengawasi kinerja para hakim untuk mencegah adanya pelanggaran aturan.
Untuk memperbaiki itu, MA perlu memperketat rekrutmen hakim atau pegawai lain yang bekerja di bawah lembaga MA dengan sistem terbuka.
"Ini berkaitan dengan rekrutmen, evaluasi kinerja, dan kontrol pengadilan di bawah, mekanisme internal. Bukan tidak mungkin karena orang punya koneksi di MA, orang itu bisa diangkat jadi kepala pengadilan negeri, kepala pengadilan tinggi, dan sebagainya," ujar Lalola.
Menurutnya, MA yang memiliki Badan Pengawas tidak hanya bisa bekerja sendiri. Komisi Yudisial juga perlu turun lebih jauh untuk mengawasi kinerja MA.