Ruang kreatif dan inovatif bagi guru terbuka dalam mengimplementasikan kurikulum 2013 atau K13 di pendidikan dasar. Dengan pendekatan pengajaran seperti itu, daya nalar dan berpikir kritis siswa akan terasah, sehingga diharapkan siap menghadapi tantangan di era saat ini.
Oleh
ADITYA PUTRA PERDANA
·3 menit baca
SEMARANG, KOMPAS — Ruang kreatif dan inovatif bagi guru terbuka dalam mengimplementasikan kurikulum 2013 atau K13 di pendidikan dasar. Dengan pendekatan pengajaran seperti itu, daya nalar dan berpikir kritis siswa akan terasah sehingga diharapkan siap menghadapi tantangan di era saat ini.
Guru berprestasi yang lama mengajar di SDN Deresan, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta, Nur Fitriana, mengatakan, potret keseluruhan K13 sebenarnya sudah baik serta pembelajaran diarahkan berpusat pada siswa (student centered). Namun, implementasi di lapangan masih berbeda-beda.
”Masih ada yang belum benar-benar memahami roh Kurikulum 2013 ini. Sinergi dinas pendidikan di daerah dan Kemdikbud terus dilakukan,” ujarnya di sela-sela Bincang Kompas dengan tema ”Berpikir Kritis dalam Sistem Pendidikan Dasar” di Hotel Grasia, Kota Semarang, Jawa Tengah, Selasa (30/4/2019).
Masih ada yang belum benar-benar memahami ruh Kurikulum 2013 ini. Sinergi dinas pendidikan di daerah dan Kemdikbud terus dilakukan.
Diskusi itu digelar harian Kompas bersama Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW) Salatiga. Selain Fitri, hadir sebagai pembicara Kepala Dinas Pendidikan Kota Salatiga Yuni Ambarwati; pendiri Sanggar Anak Alam Yogyakarta, Sri Wahyaningsih; dan Ketua Program Studi Pendidikan Guru SD UKSW Mawardi. Diskusi dipandu Kepala Biro Jateng Harian Kompas Gregorius Magnus Finesso.
Fitri menuturkan, dalam K13 sudah banyak praktik sehingga segalanya tak lagi berpusat pada guru (teacher centered). Namun, di lapangan masih banyak guru yang menganggap buku sebagai kitab suci sehingga takut atau salah apabila melenceng. Padahal, ruang kreatif bagi guru terbuka.
”Misalnya, tentang membuat ketupat dari janur kelapa. Di Papua tidak ada, maka jangan dipaksakan, tetapi cari alternatif lain. Juga terkait motorik, tak harus menganyam, tetapi bisa juga menyulam, misalnya. Kalau guru mau memahami tujuan pembelajarannya apa, variasi bisa dilakukan,” kata Fitri.
Setelah lama mengajar di sejumlah sekolah, termasuk SDN Deresan, Fitri kini menjadi analis di Subdirektorat Kurikulum Direktorat Pembinaan Sekolah Dasar Ditjen Pendidikan Dasar dan Menengah Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Sebagai praktisi yang memotret secara utuh kondisi di lapangan, ia banyak memberikan masukan untuk level birokrasi.
Misalnya, tentang membuat ketupat dari janur kelapa. Di Papua tidak ada, maka jangan dipaksakan, tetapi cari alternatif lain. Juga terkait motorik, tak harus menganyam, tetapi bisa juga menyulam, misalnya. Kalau guru mau memahami tujuan pembelajarannya apa, variasi bisa dilakukan.
Inovasi dan strategi
Yuni mengatakan, pada prinsipnya anak merupakan peniru dari apa yng dikatakan guru atau orang tua. Karena itu, harus ada inovasi dan strategi dari guru sehingga pembelajaran ini lebih kreatif dan inovatif. Dengan demikian, anak berani dan mampu menyampaikan ide atau gagasan yang dimiliknya.
Guna mendukung itu, salah satu yang telah diterapkan adalah penguatan pendidikan karakter. ”Dasar untuk bisa mendidik anak berpikir kritis ialah pendidikan karakter. Bagaimana mengarahkan mereka untuk menerapkan nilai-nilai karakter yang akan berpengaruh pada tindak dan perbuatan,” ujar Yuni.
Menurut Mawardi, saat murid dituntut kritis, gurunya juga harus kritis. Begitu juga saat murid dituntut memiliki keterampilan berpikir tingkat tinggi (HOTS), guru harus lebih dulu mampu melakukannya. Untuk itu, pihaknya pun membekali calon guru dengan kemampuan yang diperlukan.
Sementara itu, Sri Wahyaningsih menilai, sistem pendidikan yang berbasis pada proses mesti menjadi garda depan pendidikan di Indonesia. Anak memiliki jiwa eksplorasi dan perlu didukung penuh, antara lain dengan riset serta peran guru sebagai fasilitator.
Pembantu Rektor IV UKSW Bidang Kerja Sama Kelembagaan dan Internasionalisasi Joseph Ernest Mambu mengatakan, manusia sejatinya memiliki kodrat berpikir kritis, bahkan sejak usia dini. ”Karena itu, tugas orangtua, pendidik, dan pendidik calon guru ialah memupuk peserta didik agar bisa melihat kekayaan proses berpikir anak-anak sedini mungkin,” ujarnya.
Ia menambahkan, tugas utama pendidik di Indonesia ialah belajar meninggalkan pola-pola pikir pembelajaran yang sempit, yang justru memasung kreativitas dan kekritisan anak-anak. Adapun UKSW pada 2018 telah membentuk Pusat Pengembangan Pemikiran Kritis (PPPK), yang salah satunya untuk terus menumbuhkan daya eksplorasi mahasiswa.