Polarisasi masyarakat akibat eksploitasi identitas primordial di Indonesia belakangan ini diyakini hanya akan berlangsung temporer.
Oleh
satrio pangarso wisanggeni
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Polarisasi masyarakat akibat eksploitasi identitas primordial di Indonesia belakangan ini diyakini hanya akan berlangsung temporer. Namun, di balik fenomena ini tampak masyarakat cenderung semakin kaku dan intoleran terhadap kelompok lain. Padahal, demokrasi sejati hanya dapat berjalan apabila hak seluruh, termasuk minoritas, juga terpenuhi.
Guru Besar Antropologi dan Kajian Agama University of North Florida Ronald Lukens-Bull, Kamis (2/5/2019), di Jakarta, menilai, ”aliansi” yang menggunakan eksploitasi identitas agama dan suku dalam kontestasi pemilu tidak sepenuhnya memiliki anutan ideologi yang sama. Tanpa adanya lawan dalam sebuah kontestasi, aliansi tidak akan berlanjut permanen.
”Dengan sebuah musuh bersama, mereka dipersatukan dalam satu kubu,” kata Lukens-Bull dalam diskusi bertajuk ”Politics and Religion in Indonesia”, Kamis.
Diskusi ini merupakan hasil kolaborasi Centre for Strategic and International Studies (CSIS), lembaga program beasiswa Amerika Serikat Fulbright, dan United States-Indonesia Society (Usindo).
Hadir antara lain pengajar Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada, Achmad Mundjid; peneliti CSIS, Noory Okthariza; dan Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini.
Oleh karena itu, Lukens-Bull meyakini bahwa untuk menghindari polarisasi masyarakat kembali terjadi, jumlah pasangan calon presiden-wakil presiden harus lebih dari dua pasang. Polarisasi diyakini berkurang apabila lebih dari dua pasangan calon yang bersaing.
Titi pun sependapat. Menurut dia, para pembuat undang-undang di Dewan Perwakilan Rakyat perlu didorong untuk tidak lagi menciptakan ambang batas pencalonan yang tinggi. Untuk Pemilihan Presiden 2019, ambang batas yang ditetapkan adalah 20 persen perolehan kursi partai atau koalisi partai di parlemen.
Toleransi saja tidak cukup. Menghargai, melindungi, mendengarkan, mencintai kelompok minoritas adalah upaya yang diperlukan.
Meski demikian, peluang untuk terciptanya pengaturan ambang batas yang tinggi untuk Pemilu 2024 masih terbuka lebar karena komposisi anggota DPR yang terpilih diperkirakan tidak akan banyak berubah. Titi berharap parpol penghuni parlemen sadar bahwa ambang batas yang tinggi tidak baik untuk perkembangan partai.
”Mereka merugikan diri sendiri. Ambang batas pencalonan ini melemahkan sistem rekrutmen dan kaderisasi partai. Terlebih lagi, pada 2024 tidak akan ada petahana sehingga persaingan lebih terbuka,” kata Titi.
Toleransi tidak cukup
Meski demikian, ada tren bahwa masyarakat semakin konservatif dan formal dalam menjalankan agamanya. Berdasarkan hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) Badan Pusat Statisktik (BPS) pada 2012 dan 2014, ada kecenderungan toleransi masyarakat Indonesia terhadap agama yang berbeda semakin menurun.
Pada 2012, persentase rumah tangga di Indonesia yang setuju terhadap kegiatan agama lain adalah 61,72 persen. Pada 2014, angka ini menurun menjadi 42,81 persen.
Padahal, menurut Mundjid, praktik agama yang tidak inklusif semacam itu sangat mudah untuk dieksploitasi oleh paham populisme menjadi sebuah komoditas politik.
Berkembangnya populisme juga tidak dapat dipisahkan dari munculnya ketimpangan ekonomi yang semakin melebar akibat globalisasi.
Populisme mengombinasikan kedua faktor tersebut dalam sebuah narasi ”mayoritas yang tertindas”. Narasi ”mayoritas tertindas” terbukti sukses di Amerika Serikat dengan terpilihnya Donald J Trump sebagai presiden pada 2016.
Dalam kampanyenya, Trump banyak menjadikan kaum minoritas musuh bersama yang menyebabkan penderitaan mayoritas kulit putih. ”Bahasa ini ternyata sangat efektif dalam politik,” kata Mundjid.
Untuk melawan politik yang memecah belah dan tergantung pada polarisasi tersebut, perlu ada upaya aktif. Bertahan menggunakan modal toleransi yang selama ini ada dinilai Lukens-Bull tidaklah cukup.
Lukens-Bull menilai, perlu ada ruang-ruang yang dapat meningkatkan interaksi antarkalangan sehingga tidak tercipta ketegangan. ”Toleransi saja tidak cukup. Menghargai, melindungi, mendengarkan, mencintai kelompok minoritas adalah upaya yang diperlukan,” katanya.