Sejumlah aktivis dari berbagai lembaga swadaya masyarakat memprotes tindakan pihak kepolisian terhadap massa yang turun ke jalan untuk merayakan Hari Buruh di sejumlah daerah pada Rabu (1/5/2019).
Oleh
ERIKA KURNIA
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Sejumlah aktivis dari berbagai lembaga swadaya masyarakat memprotes tindakan pihak kepolisian terhadap massa yang turun ke jalan untuk merayakan Hari Buruh di sejumlah daerah pada Rabu (1/5/2019). Mereka menuntut bukti atas tindakan represif kepolisian yang menghambat aksi dengan kekerasan dan upaya mempermalukan massa.
Pernyataan itu disampaikan para aktivis dalam konferensi pers di kantor Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Jakarta, Kamis (2/5/2019). Mereka yang hadir antara lain perwakilan dari Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras), serta Institute for Criminal Justice Reform (ICJR).
Juga ada Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta, Jaringan Advokasi Tambang (Jatam), dan Solidaritas Perempuan. Turut hadir juga perwakilan kelompok buruh, seperti Serikat Buruh Kerakyatan (Serbuk) dan Gerakan Buruh Bersama Rakyat (Gebrak).
”Kami melihat adanya pola tindakan represif yang dilakukan aparat kepolisian setidaknya di empat wilayah,” kata Ketua Solidaritas Perempuan Dewi Puspa. Empat wilayah tersebut adalah Jakarta, Yogyakarta, Surabaya, dan Bandung.
Menurut catatan mereka, di Jakarta, sejumlah massa buruh juga sempat ditahan di kawasan Bundaran HI saat akan berjalan menuju tempat Presiden di Istana Merdeka. Hambatan untuk aksi di Bundaran HI, menurut mereka, baru terjadi setidaknya empat tahun belakangan ini.
Lalu, aksi di Yogyakarta, menurut laporan yang diterima, mereka juga dibubarkan dengan kekerasan oleh aparat. Sebanyak 12 orang mengalami luka-luka karena mendapat pukulan dan gas air mata. Di Surabaya, mereka mendapat info dari jejaring terkait pembubaran aksi di Taman Apsari.
Kekerasan terparah, menurut informasi yang mereka dapatkan, terjadi di Bandung. Lebih dari 600 orang mengalami penangkapan yang dinilai tanpa alasan dan sewenang-wenang karena adanya pemukulan, penggundulan, hingga penelanjangan. Dari jumlah tersebut, 293 orang di antaranya anak-anak di bawah 18 tahun dan perempuan.
Laporan polisi sebelumnya menyebutkan, massa yang umumnya pelajar dan mahasiswa itu datang dengan penutup kepala dan pakaian serba hitam. Mereka yang hendak bergabung dalam kegiatan di Gedung Sate itu dihalau karena dinilai merusak dan mencoret-coret beberapa kendaraan dengan cat di Jalan Singaperbangsa.
Atas kejadian tersebut, Wakil Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) Ferry Kusuma berpendapat, pihak kepolisian perlu menunjukkan bukti yang mendasari tindakan represif tersebut, sekalipun tindakan diskresi atau pengambilan keputusan atas pertimbangan pribadi polisi diperbolehkan.
”Polisi harus tunjukkan bukti. Jika tidak ada bukti yang benar, kami berharap tindakan yang dilakukan mereka diproses, kalau tidak, penekanan ke masyarakat seperti ini akan terus berulang,” ujarnya.
Hak pendampingan
Selain itu, pengacara publik LBH Jakarta, Nelson Nikodemus Simamora, juga menyoal hak pendampingan yang dibatasi kepolisian terhadap beberapa massa aksi yang ditahan.
”Temuan terhadap aksi kemarin di beberapa daerah, teman-teman kami enggak boleh ketemu, enggak boleh mendampingi massa aksi yang ditahan. Bahkan, buruh yang kami sudah dampingi sulit bernegosiasi dengan aparat kepolisian dengan alasan tindakan mereka adalah perintah atasan,” imbuh dia.
Dihambatnya hak pendampingan tersebut, menurut Nelson, juga menyulitkan mereka melihat bukti dan alasan di balik tindakan represif aparat kepolisian.
Berlebihan
Khamid Istakhori, selaku Sekretaris Jenderal Serbuk Indonesia, mengatakan, tindakan kepolisian dalam aksi massa buruh di beberapa daerah termasuk berlebihan. Hal itu ia contohkan dalam tindakan polisi terhadap aksi di Sukoharjo, Solo, Jawa Tengah. Terhadap temuan itu, ia pun berencana mengirim surat protes kepada kepolisian.
”Saya sudah berkoordinasi dengan teman-teman pengurus di Serbuk, khusus untuk kasus di Solo yang dilarang, kami sudah bicara dengan YLBHI untuk bikin surat protes kepada kapolda dan kapolres bahwa ini sudah berlebihan,” ujarnya.
Menurut laporan yang ia terima, aksi buruh di Solo dihalang-halangi kepolisian dengan berbagai alasan, sekalipun agenda aksi sudah dilaporkan sesuai prosedur. Alasan yang disampaikan mulai dari keharusan mengirim Surat Tanda Pemberitahuan (STP) aksi ke Polda Jawa Tengah hingga menyebut aksi buruh melanggar kearifan lokal wilayah setempat. Sampai akhirnya aksi dilakukan, polisi lantas membubarkan massa dan mencopot atribut atraksi tanpa pemberitahuan.
”Klaim bahwa kami, para buruh, tidak disiplin tidak beralasan karena kami memastikan aksi yang dilakukan teman-teman masih dalam koridor peraturan yang kami yakini. Kalaupun ada kreativitas yang dinilai melanggar, ya sebaiknya ditegur atau berbicara dengan aliansi kami,” ujarnya.
Mengenai adanya kemungkinan pihak lain di luar buruh yang mengikuti aksi, Khamid mengatakan, pihaknya tidak bisa melarang hak tersebut selama mereka juga masih tertib dan disiplin dalam beraksi.
”Itu bagian dari demokrasi dan kita enggak bisa melarang. Namun, kami para buruh biasanya akan memastikan mereka yang berada di luar aliansi kami tetap mengikuti aturan kalau ingin bergabung dengan kami. Kalau tidak, kami akan tegas, kami bikin rantai manusia, agar tidak ada yang terprovokasi,” imbuhnya.
Sementara itu, Kepala Polri Jenderal (Pol) Tito Karnavian, dalam konferensi pers hari ini, memastikan aparatnya hanya menyasar penyusup yang mengganggu peringatan Hari Buruh Internasional di sejumlah kota, kemarin. Saat ini, Polri sedang menyelidiki auktor intelektualis dari kelompok Anarcho-Syndicalism, yang disebut-sebut berafiliasi dengan jaringan internasional.
Pada kesempatan yang sama di Jakarta, Kepala Divisi Humas Polri Inspektur Jenderal Muhammad Iqbal menambahkan, setidaknya 150 orang terkait kelompok Anarko itu sempat diamankan di Polrestabes Bandung. Tak hanya itu, puluhan orang juga sempat diamankan di kota lain, yakni Surabaya dan Jakarta.
”Prinsipnya, kalau ada bukti melakukan perbuatan di luar hukum, kami akan proses secara tegas agar ada efek deterrence (efek gentar),” kata Iqbal.