Sejumlah pelari maraton ultra mulai bertumbangan pada hari kedua Kompas Tambora Challenge 2019-Lintas Sumbawa 320K, Kamis (2/5/2019), di Pulau Sumbawa, NTB. Tekad mereka mulai goyah akibat cuaca ekstrem tak beraturan berupa sengatan sinar matahari silih berganti dengan guyuran hujan.
DOMPU, KOMPAS — Sejumlah pelari maraton ultra mulai bertumbangan pada hari kedua Kompas Tambora Challenge 2019-Lintas Sumbawa 320K, Kamis (2/5/2019), di Pulau Sumbawa, Nusa Tenggara Barat. Tekad para petarung langkah seribu ini mulai goyah akibat cuaca ekstrem tak beraturan berupa sengatan sinar matahari silih berganti dengan guyuran hujan.
Hingga pukul 22.00 Wita, 10 pelari dinyatakan tidak mampu melanjutkan lomba maraton ultra terekstrem di Asia Tenggara ini. Mereka terhenti di wilayah Kabupaten Sumbawa saat belum menyelesaikan setengah lomba atau 160 kilometer pertama. Pelari yang tidak melanjutkan lomba berasal dari individu putra (6 orang), estafet putra (3 orang), dan estafet putri (1 orang).
Salah satu pelari yang menghentikan lomba adalah pelari tertua Lintas Sumbawa 320K 2019, Gatot Sudariyono (57). Pelari veteran ini tidak mampu melanjutkan lomba karena seluruh energi terkuras akibat sengatan mentari Pulau Sumbawa.
Sebelum menyatakan menyerah, Gatot sempat ditemui sedang duduk di bawah pohon rindang bersama dua pelari kategori individu putra lain, Priyo Dwi Indarto (36) dan Lemri Erwanto (33), di jarak 100 km dari garis mula Pototano, Kabupaten Sumbawa Barat.
”Panas sekali cuaca hari ini. Tenaga saya terkuras habis. Sudah tidak sanggup lagi ngejar ke CP (check point) 3. Jadi kami bertiga realistis mundur saja,” ucap Gatot yang kemudian diikuti anggukan Priyo dan Lemri.
Para pelari melalui wilayah Kabupaten Sumbawa Besar pada Km 60 hingga Km 160. Daerah yang dekat dengan garis pantai itu sangat terik dari pagi hingga siang. Diperkirakan panas mencapai 35 derajat celsius.
Tidak hanya pelari yang gagal finis, ”teka-teki” cuaca juga dialami pelari penguasa lomba. Hendra Siswanto, pelari individu putra pertama yang sudah menyelesaikan 180 km, merasakan panas dahsyat itu. Seusai tiba di CP 4, dia langsung meminta handuk, kemudian mandi sekitar 10 menit. ”Panas banget tadi. Parah panasnya,” ujarnya.
Namun, sekitar pukul 15.00, cuaca berubah tiba-tiba. Dari jalur Km 130 hingga Km 160, hujan deras mengguyur. Hujan sempat berhenti, diikuti panas terik, lalu hujan kembali dalam beberapa saat. Kondisi itu membuat pelari individu putri, juara bertahan Lintas Sumbawa, Eni Rosita, basah kuyup saat sampai di CP 4.
”Kami seperti ikan teri yang dijemur. Bentar hujan, lalu panas, lalu hujan lagi,” ujar pelari relay M Dzaki Wardana yang mencapai CP 4 beriringan dengan Eni.
Dengan cuaca yang tidak terkendali, para pelari berpotensi mengalami luka lecet (blister) di kaki karena kelembaban di dalam sepatu. Mencegah hal itu, Eni dengan sigap mengganti kaus kakinya setelah basah.
Direktur lomba Lexi Rohi mengatakan, dari tahun ke tahun, 160 km pertama merupakan titik paling menyeramkan bagi pelari. Banyak pelari menyerah karena tidak mampu secara fisik atau memenuhi batas waktu tempuh yang diberikan penyelenggara.
”Di pertengahan ini memang biasa paling banyak. Setelah itu baru pada titik 280 km. Di situ juga pelari mulai kesulitan menyelesaikan lomba dan akhirnya menyerah,” ujar Lexi.
Dua jantung
Pada hari kedua, beberapa pelari menunjukkan kejutan. Di nomor relay putra, pasangan Jumardi/Oktavianus Quaasalmy memimpin lomba. Jumardi, anggota Pasukan Pengamanan Presiden, menjadi pelari tercepat mencapai 160 km dengan waktu 21 jam 42 menit.
Pasangannya, Okta, melanjutkan lomba dari 160 km menuju garis akhir di Doro Ncanga, Kabupaten Dompu. Okta berlari dengan meyakinkan. Dalam 8 jam, dia melibas 60 km sejak CP 4.
Jika terus konsisten, pasangan Jumardi/Okta diperkirakan finis pada Jumat pukul 11.00 Wita. Mereka berpotensi lebih cepat 20 jam dari batas waktu tempuh di relay, yaitu Sabtu pukul 07.00 Wita. ”Target saya finis 23 jam atau sampai di Dompu sekitar pukul 11.00,” ucap Okta sebelum memulai lari dari CP 4.
Di individu putra, Hensis, sapaan Hendra, masih unggul jauh di antara pelari lain. Dia sudah berlari sejauh 200 km, meninggalkan pesaing terdekat, Rachmat Septiyanto, hingga 5 jam. Pelari kelahiran Banyuwangi ini meninggalkan juara-juara edisi sebelumnya, Alan Maulana dan William Binjai.
Hensis seperti memiliki ”dua jantung”. Dia hanya berhenti berlari sejenak pada CP 4. Dia pun belum tidur sejak lomba pada Rabu sore. ”Badan sudah capek banget, tetapi belum mau tidur dulu,” katanya yang selalu menanyakan di mana posisi pelari lain.
Eni yang merupakan ”Ratu Lintas Sumbawa” masih menguasai lomba hingga Kamis malam. Pelari dengan dua anak ini menjadi pelari putri yang terdepan mencapai 160 km pertama. Bahkan, Eni berada di depan Alan dan William. Di kalangan pelari, Eni dipanggil dengan ”bang”, yang merupakan sapaan khas untuk kakak lelaki, mengingat ”tenaga” luar biasa yang dimilikinya.