Ekspor perdana pala organik dari Maluku ke sejumlah negara membangkitkan kembali semangat petani. Semula petani membiarkan kebun pala terbengkalai dan bekerja serabutan akibat merosotnya harga pala.
AMBON, KOMPAS —Pala organik dari Maluku diekspor untuk pertama kalinya ke Belanda, Uni Emirat Arab, dan India senilai Rp 24 miliar. Pengiriman ini menghidupkan kembali harapan untuk kembali bersaing di pasar global di tengah situasi perdagangan rempah-rempah yang belakangan redup.
”Jika dirinci, nilai untuk biji pala Rp 11,4 miliar dan fuli (bunga pala) Rp 12,6 miliar,” ujar Direktur Jenderal Perkebunan Kementerian Pertanian Kasdi Subagyono dalam keterangan pers yang diterima Kompas, Rabu (1/5/2019). Pelepasan ekspor dilakukan pada Selasa (30/4).
Ekspor ini menjadi momentum untuk membangkitkan kembali kejayaan rempah di Maluku dan Maluku Utara yang dijuluki sebagai ”kepulauan rempah”. Kekayaan sumber daya alam itulah yang menyebabkan kehadiran kolonialisme di Indonesia. Negara pemburu rempah dari Eropa datang ke Indonesia pada awal abad ke-16 dengan tujuan mencari pala dan cengkeh di Kepulauan Maluku.
Menurut Kasdi, saat ini permintaan sejumlah negara terhadap komoditas pala dari Indonesia sangat tinggi. Pemerintah terus mendampingi petani agar dapat menjaga kualitas produksi. Kualitas sangat ditentukan ketersediaan benih yang bermutu, perawatan yang teratur, hingga pengelolaan setelah panen yang tepat.
Pihaknya mendorong agar produksi pala terus meningkat lewat penyediaan bibit dan pupuk organik. ”Produktivitas saat ini hanya 0,4 ton per hektar. Kami akan membuat bibit unggul dengan produktivitas 1,2 ton per hektar,” ujarnya. Selama enam tahun mendatang, pemerintah akan menyediakan benih unggul komoditas bermutu sebanyak 500 juta batang, termasuk pala.
Berdasarkan data Kementerian Pertanian, pada 2017 luas lahan perkebunan pala di Indonesia 196.983 hektar dengan jumlah produksi 32.805 ton. Perkebunan pala itu tersebar di Sumatera, Jawa, Bali, Nusa Tenggara, Sulawesi, Maluku, dan Papua.
Ketua Dewan Rempah Maluku Djalaludin Salampessy mengatakan, ekspor perdana tersebut menjadi angin segar bagi petani pala di Maluku. Belakangan ini, para petani hilang harapan lantaran harga biji pala terus merosot hingga di bawah Rp 50.000 per kilogram. Banyak petani yang beralih menjadi buruh serabutan dan membiarkan kebun pala terbengkalai.
Djalaludin menjelaskan, pala organik yang diekspor itu berasal dari enam desa. Ia berharap agar pendampingan serupa dapat dilakukan di desa lain sehingga semakin banyak petani yang menikmati kembali kejayaan rempah.
Jika masih mengalami keterbatasan sumber daya, pemerintah dapat melibatkan pihak lain untuk bersama mendampingi petani. ”Harga pala dalam negeri sangat murah. Karena itu, ekspor memberi harapan baru,” ucapnya.
Tantangan
Menurut Djalaludin, tantangan terberat yang dihadapi adalah perubahan iklim. Curah hujan tak menentu menyebabkan produksi pala dan komoditas rempah lain anjlok. Para akademisi diharapkan dapat menemukan solusi atas kondisi ini lewat penelitian guna mendapatkan benih yang terbaik dan cocok dengan iklim sekarang.
Berdasarkan pantauan Kompas di sejumlah wilayah di Maluku, belakangan ini animo petani menanam pala sangat minim. Padahal, banyak bantuan bibit tanaman pala dari berbagai pihak. Komando Daerah Militer XVI/Pattimura, misalnya, menyediakan anakan gratis.
”Harga pala sangat murah. Kalau tidak ada jaminan harga, petani hanya lelah bekerja, tetapi tidak ada hasil,” kata Carlos Titahena, tokoh agama di Pulau Seram. (FRN)