Fenomena El Nino atau memanasnya suhu muka laut di Samudra Pasifik harus diantisipasi lewat penguatan ekonomi. Pemanfaatan usaha pertanian berbasis masyarakat bisa menjadi kunci.
Oleh
DIONISIUS REYNALDO TRIWIBOWO
·3 menit baca
PALANGKARAYA, KOMPAS — Fenomena El Nino atau memanasnya suhu muka laut di Samudra Pasifik harus diantisipasi lewat penguatan ekonomi. Pemanfaatan usaha pertanian berbasis masyarakat bisa menjadi kunci.
Hal itu terungkap dalam lokakarya bertema ”Mitigasi Menghadapi El Nino 2019 dengan Penguatan Ekonomi” di Palangkaraya, Kalimantan Tengah, Kamis-Sabtu, 2-4 Mei 2019. Kegiatan itu diselenggarakan Pemerintah Provinsi Kalimantan Tengah bersama World Wide Fund for Nature (WWF) Indonesia Kalteng.
Kepala Seksi Data dan Informasi Stasiun Meteorologi dari Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Palangkaraya Anton Budiono mengungkapkan, saat ini, El Nino masih berada pada indeks setengah hingga satu atau kategori lemah. Pada bencana asap 2015 lalu, indeks El Nino mencapai tiga (kategori kuat).
Anton menambahkan, pihaknya memprediksi, tahun 2019 fenomena alam itu akan kembali menguat hingga kategori moderat dengan indeks satu hingga dua pada pertengahan April sampai Oktober mendatang. Hal itu membuat musim kemarau akan lebih kering dan terasa lebih panas.
”Dengan indeks demikian, risiko kebakaran hutan dan lahan akan menjadi lebih tinggi,” ucap Anton.
Kepala Subbidang Kedaruratan Badan Penanggulangan Bencana dan Pemadam Kebakaran Kalteng Alpius Patanan mengungkapkan, mitigasi bencana dilakukan dengan meningkatkan kapasitas masyarakat dan petugas lapangan dalam menghadapi bencana. Dari sembilan risiko bencana di Kalteng, tiga adalah banjir, kebakaran hutan dan lahan, serta longsor.
”Kebakaran disebabkan manusia. Maka dari itu, kapasitas, adaptasi, dan kesadaran masyarakat yang harus ditingkatkan,” ujar Alpius.
Kebakaran disebabkan manusia. Maka dari itu, kapasitas, adaptasi, dan kesadaran masyarakat yang harus ditingkatkan.
Ia menambahkan, peningkatan kapasitas dilakukan dengan cara memberikan pelatihan kesiapsiagaan masyarakat. Hal itu masuk dalam rencana operasi 2019, yakni dengan pencegahan kebakaran, pemadaman dini, dan penguatan cadangan personel.
”Kelompok masyarakat yang dibentuk sudah banyak hampir di tiap desa rawan kebakaran dan itu sudah terbukti dengan turunnya jumlah titik panas setelah 2015 hingga sekarang. Tahun 2018, kebakaran terjadi lebih banyak di tanah non-gambut, artinya masyarakat sudah mulai sadar,” ungkap Alpius.
Penguatan ekonomi
Salah satu upaya pemerintah mencegah kebakaran hutan adalah dengan mengubah cara bertani masyarakat, dari membakar menjadi pengolahan lahan tanpa bakar. Upaya penguatan ekonomi dilakukan banyak pihak, baik dari pemerintah maupun lembaga nonprofit seperti WWF.
Pemerintah melalui Badan Restorasi Gambut melakukan upaya revitalisasi melalui paket-paket mata pencarian, seperti budidaya madu hutan, rotan, dan pembuatan pupuk organik. Total selama 2017-2018 terdapat 92 paket revitalisasi di Kalteng.
Inovasi paket revitalisasi juga dibutuhkan untuk mengganti kebiasaan masyarakat membakar lahan. Peneliti di Balai Penelitian dan Pengembangan Lingkungan Hidup dan Kehutanan Banjarbaru, Kalimantan Selatan, Marinus Kristiadi Harun, mengungkapkan, banyak kegiatan penguatan ekonomi yang belum dikembangkan. Alasannya, masyarakat belum mengetahuinya.
Marinus mengambil contoh, di Kalteng banyak sekali tanaman liar seperti rasau (Pandanus helicopus), sejenis pandan di lahan gambut yang tidak terpakai bahkan dimusnahkan karena dianggap hama. Padahal, rasau memiliki nilai jual tinggi.
Marinus menyebutkan, pihaknya saat ini membuat kelompok-kelompok untuk membudidayakan rasau menjadi kerajinan tangan seperti tali dan bentuk kerajinan lain. Di Wates, Kulon Progo, Yogyakarta, rasau digunakan untuk dibuat tali dan diekspor ke luar negeri.
”Kami beli itu sekarang Rp 5.000 per kilogram. Kami membutuhkan 10 ton rasau yang sudah digiling per minggu,” ucap Marinus.
Ia menambahkan, untuk lahan gambut, rasau sangat melimpah. Bahkan, semua tumbuhan organik di lahan gambut bisa dimanfaatkan untuk membuat pupuk organik yang nilai jualnya tinggi.
”Kalau masyarakat ekonominya sudah bagus, mereka tak akan membakar lagi, itu adalah mitigasi paling baik,” ujar Marinus.