Sejak berinteraksi dengan orang-orang difabel pada tahun 2011, Etty Nuzuliyanti gelisah. Ia menilai, bantuan yang diberikan banyak pihak kepada orang-orang itu tidak lantas menyelesaikan masalah. Setelah mengarungi dunia penyandang disabilitas, ia menemukan akar masalah yang perlu dirajut oleh banyak pihak, yakni mental.
Oleh
SUCIPTO
·5 menit baca
Sejak berinteraksi dengan orang-orang difabel pada tahun 2011, Etty Nuzuliyanti gelisah. Ia menilai, bantuan yang diberikan banyak pihak kepada orang-orang itu tidak lantas menyelesaikan masalah. Setelah mengarungi dunia penyandang disabilitas, ia menemukan akar masalah yang perlu dirajut oleh banyak pihak, yakni mental.
Ketika masih bekerja mengurus program pemberdayaan masyarakat sebuah perusahaan minyak internasional di Balikpapan, Kalimantan Timur, Etty kerap membuat program untuk penyandang disabilitas. Saat itu, ia bertemu penyandang disabilitas beserta berbagai persoalannya.
Etty menyadari bahwa orang cacat akibat insiden memiliki permasalahan batin. Beberapa di antara mereka merasa tak berdaya karena ada anggota tubuh yang hilang. Mereka kerap putus asa karena berpikir tak bisa bekerja seperti sediakala karena keterbatasan fisik.
Berbekal pengalaman yang ia miliki selama bekerja, wanita 55 tahun itu memutuskan untuk mengembangkan bisnis batik dengan memberdayakan penyandang disabilitas pada tahun 2015. Ia mengirim dua penyandang disabilitas ke Yogyakarta untuk belajar membatik selama 1,5 bulan.
”Orang yang tidak cacat sejak lahir cenderung memiliki permasalahan mental. Mereka seharusnya tidak diperlakukan berbeda. Jika kita memandang dan memperlakukan mereka sama seperti orang lain, ternyata dampaknya positif,” kata Etty ketika ditemui di kediamannya di Jalan Padat Karya RT 003 Nomor 35, Muara Rapak, Balikpapan Utara, Balikpapan, Kalimantan Timur, Jumat (26/4/2019).
Pada 2016, dengan mengusung merek An Niera Batik Balikpapan, ia memulai bisnis batik itu dengan mengajak penyandang disabilitas di Balikpapan yang ia kenal. Sebagian besar dari mereka memiliki cacat kaki karena kecelakaan. Salah satunya adalah Juniadi (50) yang mengalami kecelakaan kerja sehingga kaki kanannya harus diamputasi pada 2008. Ia tidak bisa melanjutkan pekerjaan lamanya karena fisiknya tak mampu lagi melakukan pekerjaan itu.
Kegiatan membatik dipilih Etty karena saat itu batik kian digemari di sejumlah daerah sejak diakui sebagai warisan kemanusiaan budaya lisan dan nonbendawi oleh UNESCO pada 2 Oktober 2009. Selain itu, kegiatan membatik juga bisa dilakukan di mana saja tanpa membutuhkan aktivitas fisik tinggi sehingga bisa memudahkan penyandang disabilitas.
Saat ini, ada sepuluh penyandang disabilitas yang aktif membatik di An Niera Batik Balikpapan. Mereka mampu membuat batik tulis, batik cap, dan batik print. Tiga orang aktif bekerja harian di gerai sekaligus rumah produksi An Niera, selebihnya bekerja di rumah.
”Yang di rumah rata-rata perempuan. Mereka melakukan proses mencanting di rumah sehingga bisa disambi dengan kegiatan lain,” ujar Etty.
Honor mencanting yang dilakukan di rumah berkisar Rp 90.000-Rp 100.000 per kain, tergantung kerumitan motif batik. Sementara yang bekerja harian di rumah produksi mendapat uang transpor, uang makan, dan gaji bulanan dengan total gaji di atas Rp 2 juta.
Batik lokal
Batik yang diproduksi di An Niera bermotif khas Balikpapan. Sebelumnya, Balikpapan tidak memiliki motif batik. Pada 2012-2015, Pemerintah Kota Balikpapan mengadakan sayembara motif batik khas ”kota minyak” itu. Salah satu motif yang diajukan Etty lolos dan dipatenkan sebagai motif batik khas Balikpapan, yakni motif jajaran buah mangrove.
Selain pelanggan perorangan, saat ini motif batik itu digunakan oleh berbagai instansi di Balikpapan, seperti sekolah, hotel, dan pemerintahan. Meski begitu, usaha yang dijalankan Etty tidak selalu mulus. Beberapa klien kerap telat membayar pesanan hingga berbulan-bulan meskipun pesanan sudah diantar.
Dengan keadaan demikian, ia dan suaminya, Subandrio (57), harus mengatur uang sedemikian rupa agar honor bagi orang-orang yang bekerja di An Niera tidak sampai telat. Konsistensinya untuk memberdayakan penyandang disabilitas diuji pada masa-masa seperti itu.
Meskipun tertatih, Etty tidak patah arang. Semangat dan keriangan para penyandang disabilitas membuatnya bangkit kembali saat menghadapi masalah dalam usaha yang ia geluti ini.
Etty memberi bekal penuh bagi orang-orang yang bekerja di An Niera. Para perajin batik di An Niera mampu melakukan berbagai proses rumit pembuatan batik tulis. Mereka mampu membuat pewarna alami dari ekstrak kayu-kayuan, mencanting, mewarnai, dan merebus batik. Semua itu bisa menjadi bekal mereka untuk berkarya secara mandiri suatu saat nanti.
Meskipun tertatih, Etty tidak patah arang. Semangat dan keriangan para penyandang disabilitas membuatnya bangkit kembali saat menghadapi masalah dalam usaha yang ia geluti ini.
Jatuh sakit
Etty dilahirkan di Madiun, Jawa Timur, 31 Januari 1964. Setamat SMA, ia memutuskan kuliah di Jurusan Sastra Indonesia Fakultas Sastra Budaya Universitas Sebelas Maret, Surakarta. Sejak saat itu, ia belajar hidup mandiri.
Ia menjadi pemburu beasiswa agar tidak membebani orangtuanya yang bekerja sebagai guru kala itu. Ia tak ingin merepotkan orangtua yang masih menanggung biaya enam adiknya. Etty juga aktif di berbagai kegiatan kampus, seperti Pramuka, senat, dan organisasi gerakan mahasiswa.
Selepas kuliah, Etty mudah mendapatkan pekerjaan karena berbagai tawaran datang dari orang-orang yang ia kenal dan paham kinerjanya. Praktis, selama lebih kurang 30 tahun bekerja, Etty dikenal sebagai orang yang supel dan pekerja keras.
Pada 2017, Etty tak hanya mengurusi mental orang-orang difabel, tetapi juga mentalnya sendiri. Ia divonis menderita gagal ginjal kronis stadium 5. Hingga saat ini, ia harus rutin cuci darah dua kali dalam seminggu.
Ia tidak bisa beraktivitas tinggi karena dokter menganjurkan untuk istirahat. Ia tidak boleh banyak bergerak karena akan berdampak bagi kesehatannya. Penyakit itu membuat Etty mudah lelah jika melakukan aktivitas seperti biasa.
Berat badannya susut. Ia saat ini perlu menggunakan kursi roda untuk berpindah tempat. Jika sedang banyak pikiran, kepalanya mudah sakit. Untuk itu, saat ini Etty berusaha untuk mengontrol dirinya agar tetap kuat menghadapi penyakit yang ia derita.
Mentalnya selalu bangkit ketika tebersit di kepalanya bahwa masih banyak yang perlu ia lakukan. Semua itu tak akan terwujud jika ia menyerah dan putus asa. Ia bersyukur memiliki suami yang kuat dan dua anak yang penuh kasih dalam kondisinya yang demikian.
Sakit yang ia derita mengubah pola hidupnya. Dahulu, Etty sangat mandiri membagi pekerjaan rumah dan kegiatan sosialnya. Saat ini, ia perlu bantuan orang lain untuk sekadar berpindah tempat di lingkungan rumah.
Namun, ia tak menyerah begitu saja. Sebab, ia ingin terus membatik masa depan dirinya dan orang-orang di sekitarnya. Ketidaksempurnaan goresan dalam batik tulis adalah kemewahan. Serupa hidup, ketidaksempurnaan hidup adalah kesempurnaan hidup itu sendiri. ”Yang sakit itu badanku saja. Jiwaku sehat,” ujar Etty mantap.