Indonesia Bakal Alami ”Paceklik” Tenaga Kerja Ahli pada Tahun 2030
Hasil survei Korn Ferry menunjukkan, Indonesia akan kekurangan tenaga kerja ahli hampir 18 juta orang pada 2030
Oleh
Sharon Patricia
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS —Hasil survei Korn Ferry menunjukkan, Indonesia akan kekurangan tenaga kerja ahli hampir 18 juta orang pada 2030. Akibatnya, pertumbuhan ekonomi Indonesia akan melambat karena industri, khususnya sektor manufaktur, sulit mentransformasi bisnis melalui teknologi.
”Kurangnya tenaga kerja ahli di dunia, termasuk di Indonesia, akan berdampak pada pelambatan pertumbuhan ekonomi dan penurunan pendapatan ekonomi. Maka, penting bagi seorang pemimpin perusahaan untuk terus berinovasi dalam menciptakan peluang,” kata Client Partner Korn Ferry Indonesia Denny Turner, di Jakarta, Kamis (2/5/2019).
Denny menyampaikan hal ini dalam kunjungannya ke Redaksi Harian Kompas. Ia datang bersama Products Group Head Korn Ferry Indonesia Stevanus G Budiawan.
Studi Korn Ferry ini dilakukan pada 2018 di 20 negara yang memiliki pengaruh besar terhadap perekonomian, terutama pada tiga sektor industri yang menjadi penggerak utama perekonomian global. Tiga industri itu adalah sektor layanan finansial dan bisnis; sektor teknologi, media dan telekomunikasi (TMT); dan sektor manufaktur.
Dalam laporannya, kekurangan tenaga kerja ahli akan berdampak pada penurunan pendapatan. Proyeksi pendapatan yang tidak terealisasi sebesar total 442,6 miliar dollar AS.
Managing Director Korn Ferry Hay Group Indonesia Sylvano Damanik menyampaikan, kekurangan tenaga kerja dengan kemampuan tinggi akan segera terjadi. Sementara kekurangan tenaga kerja kemampuan menengah dan tenaga kerja kemampuan rendah akan terjadi pada 2025.
Dampak kekurangan tenaga kerja ahli pada sektor layanan finansial dan bisnis pada 2030 berpotensi berujung pada pendapatan tahunan di Indonesia yang tidak terealisasi sebesar 9,1 miliar dollar AS; 21,8 miliar dollar AS pada sektor teknologi, media, dan telekomunikasi; dan 43 miliar dollar AS pada sektor manufaktur.
Tantangan
Perusahaan harus melakukan mitigasi potensi krisis tenaga kerja ahli mulai dari sekarang untuk melindungi masa depan. Jika tidak, krisis tenaga kerja ahli akan berdampak besar terhadap pertumbuhan ekonomi.
Krisis tenaga kerja ahli akan berdampak besar terhadap pertumbuhan ekonomi.
Hasil survei juga menunjukkan, 60 persen investor dari 800 investor di Indonesia mengatakan bahwa kepemimpinan tradisional tidak cocok dengan situasi dan tantangan di masa depan. Sebesar 66 persen investor di Indonesia setuju bahwa dalam tiga tahun mendatang, Indonesia akan kekurangan pemimpin dengan kemampuan yang dibutuhkan untuk memimpin perusahaan di masa depan.
Menurut Denny, perkembangan bisnis saat ini mengharuskan perusahaan untuk terus berinovasi. Para pemimpin bisnis perlu melakukan disrupsi terhadap diri mereka sendiri dan timnya untuk menghadapi persaingan dan menemukan peluang pasar baru yang belum dimasuki oleh pesaing (blue ocean) di tengah kondisi persaingan pasar yang sama (red ocean).
”Menjadi yang terdepan dalam persaingan berarti harus senantiasa menjadi perusahaan yang dapat bergerak cepat untuk beradaptasi dalam ekosistem bisnis yang ambigu. Pemimpin bisnis dengan kemampuan self disruptive atau mengkritik diri sendiri akan membawa perusahaan untuk maju dan menentukan masa depan perusahaan,” kata Denny.
Penelitian Korn Ferry Self Disruptive Leader dilakukan berdasarkan data milik Korn Ferry dan riset mengenai opini. Korn Ferry Institute memetakan konstruksi kajian yang telah ada dengan menggunakan analisis machine learning dalam menentukan keahlian-keahlian yang paling tepat untuk memprediksi kesuksesan masa depan.
Analisis ini digambarkan dalam lima kualitas kepemimpinan masa depan dimensi ADAPT, yaitu anticipate (mengantisipasi), driven (menggerakkan), accelerate (mempercepat), partner (membentuk kemitraan), dan trust (membangun kepercayaan).
Berdasarkan penelitian Self-Disruptive Leader, Hong Kong, Singapura, dan India memiliki proporsi pemimpin dengan kemampuan self desruptive tertinggi. Ketiga negara ini menduduki posisi teratas, baik di tingkat regional maupun global, dengan 17 persen pemimpin bisnis di negara-negara tersebut siap menghadapi tantangan masa depan.
”Indonesia pun tidak terlalu kalah dalam proporsi pemimpin dengan kemampuan self disruptive dan ADAPT, yaitu berada di kisaran 15 persen. Pemimpin yang mampu melakukan self disruptive akan memiliki performa yang lebih tinggi,” kata Denny.