Komisi Pemberantasan Korupsi membidik ratusan perusahaan perkebunan dan pertambangan yang merambah kawasan hutan di wilayah Provinsi Riau. KPK memperkirakan, lebih dari 1 juta hektar kawasan hutan Riau telah beralih fungsi tanpa memberi kontribusi pajak dan retribusi kepada negara.
Oleh
SYAHNAN RANGKUTI
·3 menit baca
PEKANBARU, KOMPAS — Komisi Pemberantasan Korupsi membidik ratusan perusahaan perkebunan dan pertambangan yang merambah kawasan hutan di wilayah Provinsi Riau. KPK memperkirakan, lebih dari 1 juta hektar kawasan hutan Riau telah beralih fungsi tanpa memberi kontribusi pajak dan retribusi kepada negara.
”KPK akan menertibkan perusahaan perkebunan dan pertambangan yang berkategori non-CnC (status izin perusahaan belum jelas dan bersih/clean and clear). Kami sudah memulainya di Kalimantan Timur dan sekarang melakukan inventarisasi di Provinsi Riau sambil berkoordinasi dengan Gubernur. Pasti akan ditertibkan,” kata Wakil Ketua KPK Alexander Marwata dalam acara penandatanganan nota kesepahaman (MoU) antara Gubernur Riau dan semua bupati/wali kota se-Riau serta Direktorat Jenderal Pajak dan Badan Pertanahan se-Riau di Pekanbaru, Kamis (2/5/2019).
Acara tersebut dihadiri Direktur Jenderal Pajak Robert Pakpahan, Gubernur Riau Syamsuar beserta semua bupati dan wali kota se-Riau. Dalam kesempatan itu, Alexander meminta semua kepala daerah di Riau ikut menertibkan perusahaan bermasalah.
Ratusan perusahaan bermasalah telah mengeruk keuntungan dari sumber daya alam negara. Namun, hasilnya hanya dinikmati untuk kepentingan sendiri.
Ia mengatakan, ratusan perusahaan bermasalah telah mengeruk keuntungan dari sumber daya alam negara. Namun, hasilnya hanya dinikmati untuk kepentingan sendiri.
”Kalau ada perusahaan yang tidak bisa mengurus perizinan dengan baik, saya meminta gubernur agar mencabut (izinnya),” kata Alexander.
Dinas Perkebunan Riau menunjukkan, setidaknya 100 perusahaan tidak memiliki izin usaha perkebunan di wilayah tengah Pulau Sumatera itu. Adapun temuan dari Panitia Khusus DPRD Riau tahun 2014, terdapat 275 perusahaan perkebunan yang beraktivitas di dalam kawasan hutan.
Menurut Alexander, persoalan di lapangan, pemerintah memiliki kelemahan karena belum dapat menerapkan kebijakan satu peta. Hal itu disebabkan kendala karena egosektoral setiap instansi pengguna peta.
”Kami sudah memaksa, bukan lagi meminta, agar kebijakan satu peta itu harus jadi. Keengganan untuk membenahi hal itu mesti dihilangkan. Semua harus bersinergi,” ujar Alexander.
Pada kesempatan yang sama, Syamsuar mengatakan, persoalan okupasi kawasan hutan di wilayahnya merupakan kerja bersama. Pemprov tidak dapat melakukannya sendiri. Ia siap bekerja sama dengan Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional dan Kanwil Dirjen Pajak Riau.
Kami sudah memaksa, bukan lagi meminta, agar kebijakan satu peta itu harus jadi. Keengganan untuk membenahi hal itu mesti dihilangkan. Semua harus bersinergi.
Sinergi pemerintah
Terkait penandatanganan MoU dengan pemerintah provinsi serta kabupaten dan kota se-Provinsi Riau, Kepala Kanwil BPN Riau Lukman Hakim mengungkapkan, kerja sama dengan gubernur dan bupati/wali kota se-Riau bertujuan membentuk sinergi program pertanahan di Riau serta menginventarisasi dan menyertifikasi aset-aset pemerintah daerah. Selama ini, pengalaman di beberapa daerah, aset-aset pemerintah hilang karena tidak memiliki hak yang kuat.
”Sinergi ini bertujuan meningkatkan pendapatan dari pajak dan retribusi buat Riau. Selain itu, aset tanah pemerintah daerah dapat diinventarisasi dengan jelas. Nantinya, basis data pertanahan menjadi semakin kuat,” kata Lukman.
Dirjen Pajak Robert Pakpahan menambahkan, kerja sama dengan pemerintah se-Provinsi Riau juga merupakan sinergi untuk mengoptimalkan pendapatan pajak pemerintah pusat dan daerah. Hingga kini masih banyak ruang untuk menaikkan kepatuhan pajak di masyarakat.
”Dengan sinergi ini, dapat dilakukan tukar data dari pemerintah daerah dengan Ditjen Pajak dan sebaliknya. Kebutuhannya sama, sama-sama butuh penerimaan pajak untuk pembangunan, pelayanan, dan pembangunan. Pemerintah pusat mendorong agar daerah dapat mandiri dalam APBD dan mengurangi ketergantungan atas DBH (dana bagi hasil),” kata Robert.
Dalam sinergi itu, lanjut Robert, akan dilakukan akselerasi untuk perubahan birokrasi. Selain tukar-menukar data, akan dilakukan peningkatan sumber daya manusia dengan pendidikan pelatihan serta sosialisasi untuk meningkatkan kemampuan. Adapun kehadiran KPK diperlukan untuk mengawasi pelaksanaan.
Menurut Syamsuar, Riau masih memerlukan dana perimbangan dari pusat untuk membiayai pembangunan daerahnya. Pada 2019, dana alokasi untuk Riau mencapai Rp 4,26 triliun berupa dana alokasi umum dan dana alokasi khusus.