Layanan Belum Maksimal, Pembentukan Badan Pertanahan Terhambat
Pemerintah Provinsi Aceh belum siap membentuk badan pertanahan sendiri akibat layanan pertanahan yang belum maksimal.
Oleh
FRANSISKUS WISNU WARDHANA DHANY
·2 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah Provinsi Aceh belum siap membentuk badan pertanahan sendiri akibat layanan pertanahan yang belum maksimal. Berangkat dari hal itu, pemerintah setempat bersinergi dengan pemerintah pusat untuk menemukan solusi terbaik.
Staf Ahli Bidang Masyarakat Adat dan Kemasyarakatan Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional, Bahrunsyah, menyampaikan hal itu dalam diskusi kelompok terarah di Jakarta, Kamis (2/5/2019).
”Pemerintah Provinsi (Aceh) belum maksimal menjalankan sembilan kewenangan pertanahan yang menjadi tugas dan tanggung jawabnya. Jika urusan teknis dan sumber daya manusia telah siap, pengalihan kewenangan dapat terwujud. Sayangnya, secara umum sampai sekarang belum bisa terwujud,” ucap Bahrunsyah.
Presiden Joko Widodo telah menandatangani Peraturan Presiden Nomor 23 Tahun 2015 tentang Pengalihan Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Aceh dan Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota Menjadi Badan Pertanahan Aceh dan Kantor Pertanahan Aceh Kabupaten/Kota pada 12 Februari 2015.
Hal tersebut bertujuan agar pelayanan pertanahan di Aceh lebih maksimal karena urusan pertanahan sepenuhnya menjadi tanggung jawab pemerintah daerah. Akan tetapi, pengalihan kewenangan belum terlaksana sampai sekarang.
Kewenangan-kewenangan itu ialah izin lokasi, pengadaan tanah untuk kepentingan umum, penyelesaian sengketa tanah garapan, penyelesaian masalah ganti kerugian, dan santunan tanah untuk pembangunan.
Kemudian, penetapan subyek dan obyek retribusi tanah serta ganti kerugian tanah kelebihan maksimum dan tanah absentee, penetapan tanah ulayat, pemanfaatan dan penyelesaian masalah tanah kosong, dan perencanaan penggunaan tanah wilayah.
Bahkan, pemerintah pusat memberikan tambahan kewenangan hak guna usaha (HGU) dan hak guna bangunan (HGB) sebagai bentuk pemenuhan tanggung jawab pemerintah berdasarkan Perjanjian Helsinki.
Bahrunsyah menyebutkan, sinergi antara BPN Aceh dan Dinas Pertanahan Aceh dalam melaksanakan tugas menjadi kunci peningkatan layanan. ”Semua untuk pembangunan di Aceh. Salah satu tantangannya ialah sertifikasi tanah wakaf di seluruh Aceh. Perlu kerja sama sampai tingkat aparatur desa untuk penuntasannya,” katanya.
Qanun pertanahan
Pengalihan kewenangan ini juga terkendala Qanun Pertanahan yang belum rampung. Qanun adalah peraturan perundang-undangan sejenis peraturan daerah yang mengatur penyelenggaraan pemerintahan dan kehidupan masyarakat di Aceh.
Anggota Dewan Perwakilan Daerah Aceh Fachrul Razi mengatakan, Dewan Perwakilan Rakyat Aceh belum tuntas membahas Qanun Pertanahan. Padahal, Qanun ini terkait pengalihan kewenangan dari pusat ke daerah.
”Sudah terlalu lama, empat tahun jalan di tempat. Harus segera dituntaskan. Masyarakat juga yang dirugikan jika berlarut,” kata Fachrul.
Kepala Dinas Pertanahan Aceh Edi Yandra menambahkan, pengalihan akan berjalan sesuai amanah peraturan presiden. Pemerintah daerah akan mematangkan persiapan pengalihan dengan memenuhi standar layanan.
”Sudah beberapa diskusi dan langkah dalam proses pengalihan. Poin yang dibahas terkait persiapan. Secara prinsip sudah siap menyongsong pengalihan,” ucap Edi.