Bagi sejumlah pekerja, peringatan Hari Buruh tidak dirayakan dengan turun ke jalan dengan mengepalkan tangan. Mereka merayakan May Day bersama keluarga, terutama buruh yang masuk kategori pekerja kerah putih. Walakin, pekerja ”kerah putih”, tetap memantau isu perburuhan.
Oleh
INSAN ALFAJRI
·4 menit baca
Bagi sejumlah pekerja, peringatan Hari Buruh tidak dirayakan dengan turun ke jalan dengan mengepalkan tangan. Mereka merayakan May Day bersama keluarga, terutama buruh yang masuk kategori pekerja kerah putih. Walakin, pekerja ”kerah putih”, tetap memantau isu perburuhan.
Pada 1930-an, tokoh politik AS, Upton Sinclair, mencetuskan istilah pekerja kerah putih. Istilah tersebut merujuk pada mereka yang biasa menggunakan kemeja putih dengan kerah terkancing rapi alias pekerja berkantor dan bergaji bulanan.
Salah seorang pekerja kerah putih itu sedang mengaso di warung donat Intermark BSD, Tangerang Selatan, Kamis (2/5/2019), sehari setelah perayaan Hari Buruh. Namanya Leo Agustinus (38). Dia manajer penjualan di salah satu perusahaan di kawasan BSD. Kemarin, ia liburan bersama keluarga ke Ancol.
Leo, yang bergaji dua digit, ini seumur-umur belum pernah bergabung dengan serikat buruh (SB). Setidaknya sudah 21 tahun dia bekerja di bidang jasa.
Leo lebih nyaman berada di luar SB. Dia mengibaratkan SB laiknya kolam ikan. ”Kolamnya memang satu, tapi kan ada banyak ikan di dalamnya. Belum tentu semua aspirasi bisa diakomodir,” katanya sembari memandang layar komputer jinjing. Warga China Benteng ini sebenarnya sedang cuti. Hanya saja, ia sedang ada pertemuan dengan klien.
Ada tudingan bahwa pekerja kerah putih tidak solider terhadap mayoritas buruh yang memperjuangkan kesejahteraan hidup. Leo hanya tertawa saat diminta menanggapi tudingan tersebut.
Saya pernah menjadi kerah biru. Jadi sekarang tahu betul memperlakukan bawahan.
Ia menceritakan pengalamannya sebelum bertengger sebagai manajer di tempat kerjanya saat ini. Ia pernah bertahun-tahun bertungkus lumus jadi tenaga penjualan perusahaan. ”Saya pernah menjadi kerah biru (buruh dengan penghasilan tidak tetap). Jadi, sekarang tahu betul memperlakukan bawahan,” katanya mengklaim.
Leo tidak melarang bawahannya ikut aksi May Day, sepanjang tidak terlibat isu SARA. Dia pun juga bersimpati terhadap buruh yang memperjuangkan upah layak. Kemarin, ribuan buruh di Jakarta ingin merevisi Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan. Formulasi upah dalam aturan itu dianggap tidak berkeadilan.
”Saya tetap berharap upah buruh di Indonesia lebih layak,” katanya.
Buruh lainnya yang tak ikut turun ke jalan kemarin adalah Andi Kurniawan (30). Dia tahu betul bahwa setinggi apa pun jabatan, selama masih bekerja di perusahaan tetap masuk kategori buruh. Andi berstatus karyawan tetap di perusahaan semen dengan penghasilan lebih dari Rp 10 juta per bulan.
Andi memang bergabung dengan SB perusahaan, tetapi tidak begitu aktif. Kemarin, ia juga memilih berlibur dengan keluarga.
Pria asal Surabaya ini berpendapat, perjuangan buruh yang turun ke jalan tidak lagi signifikan. Pemerintah membuat kebijakan tidak berdasarkan gerakan buruh, tetapi berangkat dari kondisi yang ada. ”Caranya (perjuangan buruh) harus diubah,” katanya mantap.
Alumnus Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya ini menyarankan agar buruh mempunyai partai sendiri. Partai yang dibangun berdasarkan kepentingan kaum buruh. Partai yang ada sekarang, menurut dia, punya agenda sendiri yang belum tentu selaras dengan kaum buruh.
Menjelang reformasi 1998, pernah ada partai yang didukung elemen kaum buruh, yakni Partai Rakyat Demokratik (PRD). Politisi PDI-P, Budiman Sudjatmiko, merupakan salah satu tokoh intelektualnya. Sejarah mencatat, PRD belum mampu mengirim wakil ke parlemen.
Lupa sejarah
Pengurus Sindikasi (Serikat Pekerja Media dan Industri Kreatif untuk Demokrasi) Divisi Riset dan Edukasi Farhanah memaklumi pekerja kerah putih yang tidak mau berkeringat dengan turun ke jalan.
Namun, ia mengingatkan agar pekerja kerah putih tidak lupa sejarah. Segala kemewahan yang dipunyai kaum buruh sekarang merupakan hasil perjuangan gerakan buruh masa silam. Sebut saja jam kerja delapan jam sehari, kebijakan lembur, cuti, hingga tunjangan hari raya.
”Tidak bisa disalahkan sebab kita lahir dan bekerja dalam situasi yang sudah nyaman. Akan tetapi, pekerja kerah putih sedianya jangan terlalu negatif sama teman-teman buruh yang turun ke jalan,” katanya.
Dia mengatakan, Sindikasi diisi oleh ratusan pekerja media dan industri kreatif, yang rerata juga berkerah putih. Mereka terus menggelorakan gerakan buruh dengan terus mempelajari sejarahnya. Seperti pada postingan yang tertera di akun Instagram mereka: Ngomongin Sejarah Biar Nggak Pasrah
Editor:
khaerudin
Bagikan
Kantor Redaksi
Menara Kompas Lantai 5, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
Tlp.
+6221 5347 710
+6221 5347 720
+6221 5347 730
+6221 530 2200
Kantor Iklan
Menara Kompas Lantai 2, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.