Angkatan bersenjata Venezuela tidak merespons seruan pemimpin oposisi Juan Guaido untuk melengserkan Presiden Venezuela Nicolas Maduro. Militer, Rabu (1/5/2019), justru membubarkan pengunjuk rasa dengan gas air mata dan krisis di Venezuela pun kian dalam.
Oleh
ADHITYA RAMADHAN
·3 menit baca
CARACAS, KAMIS — Angkatan bersenjata Venezuela tidak merespons seruan pemimpin oposisi Juan Guaido untuk melengserkan Presiden Venezuela Nicolas Maduro. Militer, Rabu (1/5/2019), justru membubarkan pengunjuk rasa dengan gas air mata dan krisis di Venezuela pun kian dalam.
Meskipun Guaido menyerukan agar militer mendukungnya, kepemimpinan angkatan bersenjata sejauh ini tetap loyal kepada Maduro, yang telah berkuasa sejak mentornya, mendiang Presiden Hugo Chavez, meninggal pada tahun 2013.
”Jika rezim berpikir tekanan kami telah maksimal, mereka bahkan tidak bisa membayangkan,” kata Guaido kepada ribuan pendukung yang bersorak, ”Kita harus tetap di jalanan.”
Ribuan demonstran meneriakkan nama Guaido ketika ia menyerukan warga untuk bersiap melakukan pemogokan umum pada unjuk rasa di Caracas. Guaido telah menyerukan ”demonstrasi terbesar” dalam sejarah Venezuela dan mengatakan di Twitter bahwa ”jutaan rakyat Venezuela” berada di jalanan dalam ”fase terakhir” dari langkahnya untuk menggulingkan Maduro.
”Sudah jelas sekarang bahwa sang perampas telah kalah,” klaim Guaido yang sebenarnya tidak sejalan dengan apa yang terjadi di lapangan.
Namun menjelang sore, banyak pengunjuk rasa di ibu kota Caracas telah pulang. Pengawal Nasional menembakkan gas air mata ke arah demonstran yang masih tersisa. Seorang demonstran yang terluka dilarikan oleh rekannya menggunakan truk untuk mendapat pertolongan pertama.
Di Bandar Udara Carlota di seberang kota, bentrokan terjadi antara pemrotes dan pasukan yang loyal pada Maduro. Di lokasi ini, juga di beberapa tempat lain, pasukan keamanan menembakkan gas air mata dan peluru karet untuk membubarkan demonstrasi. Sementara itu, pengunjuk rasa yang mayoritas anak muda melempari petugas keamanan dengan batu dan membakar sepeda motor.
”Saya tidak ingin menyebutnya bencana, tapi ini tidak berhasil,” kata Marlina Carilo yang berdiri di tengah demonstran.
Namun, warga lain merasa frustrasi karena tidak ada yang berubah lebih dari tiga bulan setelah Guaido, Ketua Majelis Nasional yang dikelola oposisi, mengklaim diri sebagai presiden sementara dengan alasan bahwa pemilihan kembali Maduro pada 2018 tidak sah.
Para pemimpin oposisi berharap langkah berisiko Guaido dengan menyerukan militer memberontak akan menggerakkan petinggi militer untuk membelot dan menggoyang cengkeraman kekuasaan Maduro. Namun, yang terjadi kemungkinan hanya kepala badan intelijen yang membelot. Sejumlah analis memperkirakan realitas ini akan semakin membuat Maduro lebih berani. Lebih jauh lagi, peristiwa ini akan menempatkan Venezuela kian berada dalam ketidakpastian.
Kini, pertarungan di Venezuela telah meningkat pada dimensi geopolitik dengan Amerika Serikat dan lebih dari 50 negara mendukung Guaido sebagai presiden yang sah sementara Rusia dan beberapa negara lain mendukung Maduro dengan memberikan bantuan militer dan ekonomi.
Kebuntuan di negara anggota OPEC itu meningkatkan ketegangan antara AS dan Rusia, yang saling menuduh saling campur tangan dalam urusan dalam negeri Venezuela.
Penasihat Keamanan Nasional AS John Bolton mengatakan, Maduro dikelilingi oleh ”kalajengking dalam botol” dan tokoh kunci pada lingkaran dalamnya telah ”diusir” ketika melakukan negosiasi dengan oposisi.
Pemerintahan Presiden AS Donald Trump telah menjatuhkan sanksi pada pemerintahan Maduro dan menolak untuk mengesampingkan intervensi militer meskipun ia mengatakan lebih memilih transisi damai.
”Tindakan militer dimungkinkan. Jika itu yang diperlukan, itulah yang akan dilakukan Amerika Serikat,” kata Menteri Luar Negeri AS Mike Pompeo kepada Fox Business Network.
Pentagon tampaknya tidak menaruh perhatian pada setiap persiapan aktif untuk campur tangan langsung di Venezuela, tetapi mengakui adanya perencanaan kontingensi yang terperinci.
Sementara Menteri Luar Negeri Rusia Sergei Lavrov mengatakan kepada Pompeo pada hari Rabu bahwa ”langkah-langkah agresif” lebih lanjut di Venezuela akan memiliki konsekuensi besar. (AP/REUTERS)