Pemuka agama menyerukan pentingnya persatuan dan kesatuan bangsa di atas segala-galanya. Seruan ini sekaligus ajakan kepada seluruh elemen bangsa untuk menyudahi dikotomi karena perbedaan pilihan politik.
Oleh
FRANSISKUS WISNU WARDHANA DHANY
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemuka agama menyerukan pentingnya persatuan dan kesatuan bangsa di atas segala-galanya. Seruan ini sekaligus ajakan kepada seluruh elemen bangsa untuk menyudahi dikotomi karena perbedaan pilihan politik.
Pesan itu menjadi inti dari dialog antarpemuka agama dalam memperkuat komitmen kerukunan dan perdamaian antar-anak bangsa. Kini sudah saatnya melepaskan embel-embel pendukung 01 ataupun 02 dan melebur menjadi satu Indonesia.
”Perbedaan pilihan bukan alasan untuk saling memusuhi. Justru perbedaan itu ada untuk memperkaya cara pandang, rasa saling menghargai, kerukunan, dan perdamaian satu sama lain sebagai saudara sebangsa dan setanah air. Sebelum masuk ke bilik suara, kita punya perbedaan pilihan. Setelah keluar dari bilik suara, kita kembali satu dan bersaudara," ucap Ketua Bidang Ideologi dan Kesatuan Bangsa Parisada Hindu Dharma Indonesia Nyoman Udayana Sangging di Jakarta, Kamis (2/5/2019).
Pesta demokrasi seharusnya menjadi sukacita bersama karena setiap orang memilih calon pemimpin yang akan membawa Indonesia ke arah lebih baik. Sayangnya, sukacita itu berganti menjadi persaingan yang menjurus kepada perpecahan.
Masyarakat justru larut dan tenggelam dalam konflik internal yang menguras energi dan tenaga. Kondisi seperti ini sangat merugikan Indonesia di tengah upaya membenahi berbagai sektor kehidupan terutama kesejahteraan masyarakat.
Perwakilan Persatuan Umat Buddha Indonesia Philip Wijaya menuturkan, perpecahan akan menghambat upaya Indonesia mengejar perkembangan dan kemajuan dunia. Segenap elemen bangsa harus bekerja sama agar upaya tersebut dapat terwujud.
”Mari bersama-sama meletakkan perbedaan pilihan dan menuju Indonesia yang maju, modern, bermartabat, dan diakui dunia,” ucap Philip.
Selain itu, rasa mudah tersinggung juga seharusnya sudah hilang. Ketua Umum Dewan Rohaniwan/Pengurus Pusat Majelis Tinggi Agama Konghucu Indonesia Budi S Tanuwibowo menambahkan, masyarakat tidak perlu lagi membawa persoalan ketika pemilu ke dalam kehidupan sehari-hari pascapemilu. Bukan tanpa alasan, negara telah menyediakan saluran-saluran untuk penyelesaian ketidakpuasan terhadap pemilu. ”Otak dan hati harus maju. Kebaperan jangan terus dibawa-bawa,” ujar Budi.
Elite politik dan masyarakat juga harus bersabar menunggu keputusan resmi dari Komisi Pemilihan Umum tentang pemimpin terpilih. Sembari menunggu, situasi kondusif harus terus dipertahankan sebagaimana jalannya pemungutan suara. Kepada penyelenggara pemilu, berikan dukungan serta pengawasan dalam menuntaskan tugas dan tanggung jawabnya.
Racun demokrasi
Dikotomi dan perpecahan ini juga tidak terlepas dari banjir informasi yang menyesatkan. Ujaran kebencian, berita bohong, hoaks, ataupun fitnah dibungkus rapi seakan-akan adalah kebenaran.
Menurut Sekretaris Umum Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia Gomar Gultom, kebebasan untuk berpendapat dan berekspresi dijamin undang-undang. Akan tetapi, publik menelan mentah-mentah banjir informasi tersebut. Oleh karena itu, Indonesia perlu lebih banyak belajar.
Adapun Wakil Sekretaris Jenderal Pengurus Besar Nahdlatul Ulama Imam Pituduh menyebutkan, kondisi yang kondusif harus dihadirkan juga ke dalam sosial media. Caranya yakni dengan memperbanyak konten positif.
”Bersama menggerakkan aspek moralitas dalam menggunakan teknologi yang tersedia. Tunjukkan kecintaan pada Tanah Air dengan menghadirkan konten yang positif melawan racun demokrasi,” kata Imam.