Penguatan Nalar yang Belum Kelar
Sistem pembelajaran berbasis kemampuan nalar tingkat tinggi semakin serius diterapkan. Sistem ini menuntut siswa untuk mampu mengamati, menganalisis, dan mencari solusi atas permasalahan yang ada di lingkungan.
Namun, berbagai kendala masih dialami. Persiapan yang kurang membuat pelaksanaan di ruang kelas menjadi setengah hati, bahkan menuai keluhan dari guru dan siswa.
Kesulitan dalam penerapan kemampuan nalar tingkat tinggi atau HOTS dialami oleh Theresia Ambar, guru Matematika di SMAK Penabur Jakarta. Pada pelajaran matematika, penerapan ini dinilai cukup sulit. Menerapkan HOTS artinya anak harus tahu dasar-dasar rumus yang digunakan. Sementara, anak selama ini sudah terbiasa dengan menghapal rumus dan memasukan angka untuk dihitung.
Menerapkan HOTS artinya anak harus tahu dasar-dasar rumus yang digunakan. Sementara, anak selama ini sudah terbiasa dengan menghapal rumus dan memasukan angka untuk dihitung.
“Kalau soalnya diubah sedikit yang lebih menuntut penalaran, anak sudah pusing. Kesalahan selama ini anak hanya diajarkan untuk menghapal konsep, bukan memahami,” katanya.
Meski begitu, Tya paham, penalaran pada sebuah materi memang dibutuhkan untuk anak. Pada suatu rumus, konsep yang digunakan harus dijelaskan. Tujuannya, ketika kasus yang harus diselesaikan berbeda dari yang diajarkan, anak tetap bisa mengerjakannya. Berbagai contoh soal pun diberikan, mulai dari soal sederhana sampai soal yang lebih sulit.
Mampu menyisipkan penalaran tingkat tinggi pada pelajaran tidak mudah bagi seorang guru. Terkadang beberapa materi sulit dikaitkan dengan kehidupan sehari-hari, terutama di pelajaran matematika. Guru pun harus berputar otak agar pelajaran yang diajarkan bisa dikemas dengan baik.
HOTS merupakan sistem baru yang sebelumnya tidak diperkenalkan dalam pendidikan dan pelatihan profesi guru. Sementara, pelatihan yang diberikan saat ini juga belum maksimal. Tya, merupakan salah satu guru yang belum mendapatkan pelatihan. Informasi mengenai HOTS baru ia dapatkan melalui kepala sekolah ataupun guru mata pelajaran lain yang pernah ikut pelatihan.
HOTS merupakan sistem baru yang sebelumnya tidak diperkenalkan dalam pendidikan dan pelatihan profesi guru. Sementara, pelatihan yang diberikan saat ini juga belum maksimal.
“Memahami HOTS sendiri tidak mudah. Guru dituntut harus mengajar sampai anak bisa paham. Namun, di sisi lain, guru juga harus membereskan administrasi seperti kisi-kisi, koreksi ulangan, dan silabus. Jadi, kadang, administrasi pun tidak kelar,” ujar Tya.
Keluhan terkait penerapan HOTS tidak hanya dikeluhkan oleh guru. Sejumlah siswa pun berpendapat, HOTS ini justru membuat soal-soal menjadi lebih rumit. Padahal, pelajaran di kelas belum dibiasakan untuk menghadapi soal yang menuntut penalaran tingkat tinggi.
Bernadus Valentin (18), siswa SMAN 6 Tambun Selatan, menyebutkan, kesulitan itu dihadapi ketika ujian nasioal berbasis komputer (UNBK) berlangsung pada awal April 2019. Sejumlah soal yang ditemui menuntut untuk berpikir lebih, sementara selama ini soal-soal bisa dikerjakan cukup dengan menghapal rumus.
Sejumlah soal UN yang ditemui menuntut untuk berpikir lebih, sementara selama ini soal-soal bisa dikerjakan cukup dengan menghapal rumus.
“Coba dipikir, ada soal yang minta kita ngitung kemungkinan password untuk buat akun e-mail si Zaky. Itu Zaky yang buat email, kita yang pusing. Belum lagi ada juga yang suruh ngitung batu bata yang dibutuhin untuk bangun gapura bentuk segitiga. Pusing!” katanya.
Keluhan itu juga disampaikan Nadhifa Marsaa (17), siswa SMAN 48 Jakarta. Tidak sedikit soal matematika pada UNBK yang membuatnya harus berpikir keras. Soal-soal seperti itu tidak biasa diberikan ketika di kelas.
“Sebenarnya jawaban dan rumus yang digunakan sama. Tetapi kata-kata dan contoh kasusnya itu yang muter-muter, jadi kita dibuat susah. Biasanya kan soal UN tidak jauh beda sama kisi-kisi dan latihan sebelumnya,” ujarnya.
Selama pelajaran di sekolah berlangsung, Nadhifa mengaku tidak banyak diajarkan soal-soal atau latihan yang memerlukan cara berpikir kritis. Teori dan hitungan masih mendominasi pembelajaran yang ada.
Selama pelajaran di sekolah berlangsung, Nadhifa mengaku tidak banyak diajarkan soal-soal atau latihan yang memerlukan cara berpikir kritis.
Ia justru menyayangkan, setelah masuk kelas XII, pelajaran menjadi tidak efektif. “Mungkin karena Kurikulum 2013, murid yang suruh mikir sendiri. Jadi malah kita bingung mau ngapain,” ucapnya.
Konsep kemampuan bernalar tingkat tinggi atau HOTS memang penting untuk diterapkan pada siswa agar siswa mampu bersaing di era revolusi industri 4.0 ini. Namun, persiapan kapasitas guru dan murid juga harus diperhatikan. Jangan sampai, penalaran untuk mengamati, menganalisis, dan mencari solusi atas permasalahan yang terjadi di lingkungan sekitar justru salah kaprah dan menjadi beban bagi siswa dan guru.