Beri Keadilan Bagi Korban Kekerasan Seksual Pada Anak
JAKARTA, KOMPAS – Langkah Mahkamah Agung menindak majelis hakim Pengadilan Negeri Cibinong, Jawa Barat yang melanggar hukum acara saat mengadili perkara pemerkosaan terhadap dua anak, diapresiasi berbagai kalangan. Untuk memberi keadilan dan kepastian hukum kepada para korban, Mahkamah Agung didesak mempercepat sidang kasasi atas atas tersebut.
Tindakan Mahkamah Agung (MA) juga diharapkan menjadi pelajaran bagi seluruh hakim agar tidak melakukan perbuatan yang sama dengan majelis hakim di PN Cibinong. Perspektif perlindungan anak, haruslah dimiliki para hakim agar anak-anak korban mendapat mendapatkan keadilan.
“Kami sangat mengapresiasi langkah MA. Namun untuk keadilan bagi korban, kami memohon agar sidang kasasi diproses cepat dan menjadi prioritas, supaya korban mendapat keadilan. Perlindungan harus diberikan kepada korban dan keluarga, karena pelaku tidak ditahan, ” ujar Uli Pangaribuan, kuasa hukum kedua korban dan keluarga dari Lembaga Bantuan Hukum Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan (LBH APIK), di Jakarta, Rabu (1/5/2019).
Sebelumnya, majelis hakim PN Cibinong yang mengadili perkara perkosaan terhadap kakak beradik, Joni (14) dan Jeni (7) dengan terdakwa H (41), dalam putusan yang dibacakan 25 Maret 2019 lalu, membebaskan terdakwa. Putusan tersebut menuai kecaman dan kritik dari berbagai kalangan.
Majelis hakim dinilai tidak berpihak pada korban yang merupakan anak-anak, serta tidak sesuai dengan Peraturan MA No 3 Tahun 2017 tentang Pedoman Mengadili Perkara Perempuan Berhadapan dengan Hukum. LBH APIK Jakarta mempertanyakan alasan hakim membebaskan terdakwa karena tidak ada saksi yang melihat langsung peristiwa tersebut.
Sejumlah kejanggalan
LBH APIK menemukan sejumlah kejanggalan dalam proses persidangan perkara tersebut. Contohnya, hakim yang memeriksa hanya satu orang tapi dalam putusan disebutkan tiga orang. Saat pemeriksaan korban tidak boleh didampingi pendamping dan orangtua, dan di persidangan kedua korban juga dipertemukan dengan pelaku ruang sidang tanpa didampingi oleh orangtua dan pendamping. “Kami berharap sidang kasasi segera, agar korban mendapat keadilan,” ujar Uli.
Kasus pemerkosaan terhadap kakak beradik mengundang keprihatinan, pelaku H yang merupakan tetangga mereka, melakukan kekerasan seksual berulangkali semenjak Joni berumur 12 tahun dan Jeni berumur 4 tahun. Kasus ini diproses hukum, setelah orangtua melaporkan ke kepolisian. Jaksa menuntut terdakwa 14 tahun penjara dan denda 30 juta rupiah, tetapi dalam putusan yang dibacakan 25 Maret 2019 lalu terdakwa dibebaskan. Jaksa kemudian mengajukan kasasi atas putusan tersebut.
Selain gencar diberitakan media, kecaman, kritik, laporan, dan pengaduan masyarakat akhirnya sampai ke MA. Atas laporan itu, pimpinan MA memerintahkan badan pengawas melakukan klarifikasi dan verifikasi.Pada Senin (29/4/2019) lalu, MA menyampaikan telah menindak tiga hakim PN Cibinong yang mengadili perkara itu termasuk atasanya, LJ (ketua PN Cibinong).
Mereka ditindak karena dinilai lalai atau melanggar hukum acara, dan tidak memberikan sepenuhnya hak-hak anak selama persidangan. Persidangan seharusnya dilakukan secara majelis tiga orang hakim, tapi kenyataannya ketua majelis hakim melakukan persidangan tunggal.
Bentuk tindakan MA adalah berupa penarikan sementara para hakim tersebut ke Pengadilan Tinggi Bandung, agar mereka lebih fokus menjalani proses pemeriksaan baik verifikasi maupun klarifikasi. “Jika ditarik mereka kehilangan kewenangan menyidangkan perkara. Bahkan jika dalam pemeriksaan lanjutan ditemukan fakta lain, kemungkinan berdampak pada sanksi lainnya,” ujar Kepala Biro Hukum dan Humas MA, Abdullah, Rabu petang.
Tidak ada toleransi
Abdullah menegaskan MA memberikan perharian serius terhadap kasus anak dan perempuan, karena itu setelah mendapat informasi atas putusan tersebut MA langsung bertindak. “Sekarang MA itu kan zero tolerance. MA tidak akan memberikan perlindungan kepada aparat hukumnya yang melakukan pelanggaran apa pun,” ujarnya.
Sekarang MA itu kan zero tolerance. MA tidak akan memberikan perlindungan kepada aparat hukumnya yang melakukan pelanggaran apa pun.
Ia mengakui informasi tentang perkara tersebut agak terlambat. Jika dari awal sudah diketahui MA, pasti ada tindakan. “Itu kesalahan fatal, seharusnya hak-hak anak dipenuhi, karena perkara anak bukan perkara biasa, memerlukan pendekatan khusus, cara khusus. Kita harus memberi hak anak secara adil dan bijak,” tegasnya.
Meski data perkara terpantau, sistem pemantauan proses persidangan seperti di Cibinong masih lemah. Karena itu, ke depan, semua pihak diminta aktif memantau dan memberikan informasi tentang proses perkara di mana saja, agar jangan sampai ada lagi putusan seperti PN Cibinong.
Langkah MA juga diapresiasi Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) dan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak. Semua aparat penegak hukum dari kasus-kasus terkait anak diminta memiliki pemahaman perlindungan anak. “Norma perlindungan anak harus menjadi pijakan utama dalam proses hukum mulai tingkat kepolisian, kejaksaan dan pengadilan,” kata Ketua KPAI Susanto.
Deputi Perlindungan Anak KPPA Nahar berharap dalam mengadili perkara yang korbannya anak, semua pihak memperhatikan Undang-Undang Perlindungan Anak dan UU Sistem Peradilan Pidana Anak. “Khususnya terkait kebutuhan antara lain pemberian bantuan hukum, pemberian pendampingan orang tua, wali, orang yang dipercaya oleh anak, dan pemberian keadilan di muka pengadilan anak yang obyektif dan tidak memihak,” katanya yang juga mengapresiasi langkah JPU yang mengajukan kasasi.
Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban Hasto Atmojo Suroyo menyatakan, terhadap para korban, LPSK akan memberi perlindungan baik fisik, psikologis, dan rehabilitasi psikososial. “Bagi salah satu korban, LPSK memberi bantuan medis mengingat yang bersangkutan masih kesakitan di bagian vitalnya,” ujarnya.
LPSK juga akan memberi perlindungan pada ibu korban, termasuk informasi terkait perhitungan restitusi, serta akan merelokasi korban dan keluarganya karena para korban mendapat perundungan dari teman-temannya di sekolah. “LPSK bermaksud memfasilitasi kedua korban untuk pindah sekolah, serta menanggung biaya hidup sementara mereka," kata Hasto.