Perguruan Tinggi Dituntut Berevolusi dan Berdaya Saing
Oleh
DEONISIA ARLINTA
·3 menit baca
DEPOK, KOMPAS – Sumber daya manusia yang berkualitas dan adaptif dibutuhkan bangsa ini untuk menghadapi kompleksitas era revolusi industri 4.0. Perguruan tinggi pun memiliki peran yang sangat signifikan agar lulusan yang dihasilkan mampu mandiri dan menjadi profesional, sesuai kebutuhan industri yang semakin dipengaruhi kemajuan teknologi informasi.
Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi Mohamad Nasir mengatakan hal itu saat memberikan amanat dalam upacara peringatan Hari Pendidikan Nasional di Universitas Indonesia, Depok, Kamis (2/5/2019). Ia mengatakan, perguruan tinggi harus ikut berinovasi dan beradaptasi di era disrupsi saat ini.
Selain itu, menurut Nasir, perguruan tinggi juga didorong untuk melakukan transformasi digital dalam penyelenggaraan kegiatan tridharma dan pengelolaan perguruan tinggi.
Revolusi pada pendidikan tinggi bisa dilakukan, antara lain membuka kelas daring (online), pelatihan terbuka secara daring, serta menyajikan mata kuliah baru yang relevan dengan teknologi informasi seperti analisis data, data raksasa, serta kewirausahaan.
“Tujuannya untuk membekali lulusan perguruan tinggi dengan pengetahuan dan kemampuan bekerja yang sesuai dengan tantangan dunia kerja di masa depan,” kata Nasir.
Selain melakukan inovasi dan terobosan, pendidikan tinggi juga ditantang untuk meningkatkan jumlah mahasiswa di seluruh perguruan tinggi di Indonesia. Tentunya, peningkatkan ini selaras dengan mutu yang baik serta relevan dengan kebutuhan pembangunan dan pasar kerja.
Saat ini, jumlah instansi pendidikan tinggi di Indonesia mencapai 4.741 instansi. Namun, angka partisipasi kasar pendidik tinggi pada tahun 2018 masih 34,58 persen. Artinya, masih ada sekitar 65 persen anak-anak usia kuliah tidak mendapatkan kesempatan di pendidikan tinggi. Daya saing pun menjadi rendah.
Literasi
Nasir menyampaikan, daya saing pendidikan tinggi sangat bergantung pada kualitas para dosen, tenaga kependidikan, dan mahasiswa. Daya saing ini perlu dikembangkan melalui peningkatan literasi-literasi data, teknologi, dan manusia.
Menurut Nasir, kemajuan teknologi yang ditandai dengan kemajuan pendidikan dan ilmu pengetahuan tetap harus mengutamakan sisi kemanusiaan yang dimiliki. “Untuk itu, pembangunan karakter harus diperhatikan. Karakter manusia yang dibangun bercirikan kebenaran, kejujuran, keadilan, kebajikan, tanggung jawab, dan cinta tanah air,” katanya.
Kini, strategi yang dilakukan untuk meningkatkan mutu pendidikan tinggi yaitu dengan menyinergikan aspek pendidikan, penelitian, dan pengabdian pada masyarakat. Cara itu juga didukung oleh peran pentahelix antara universitas, pemerintah, swasta, serta masyarakat.
“Sinegi ini terutama dalam pengembangan mutu mahasiswa dan lulusan, mutu sumber daya dosen dan tenaga kependidikan, jaringan, publikasi, dan hilirisasi hasil-hasil produk riset dan inovasi di perguruan tinggi,” kata Nasir.
Sementara, pada pendidikan dasar dan menengah, pembenahan juga perlu dilakukan. Wakil Sekretaris Jenderal Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) mengatakan, perbaikan substantif diperlukan karena kualitas pendidikan masih rendah meskipun anggaran pendidikan sudah cukup tinggi.
Anggaran pendidikan di Indonesia terus meningkat setiap tahun. Dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2019 telah mengalokasikan dana pendidikan sebesar Rp 492,5 triliun. "Angka ini sangat besar tetapi dampak terhadap hasil pendidikan yang bersifat jangka panjang belum terlihat," katanya.
Ia pun mendesak agar pemerintah lebih fokus menggunakan anggaran yang tersedia untuk memenuhi delapan standar nasional pendidikan, seperti standar isi kurikulum, standar proses pembelajaran, standar pendidikan dan tenaga kependidikan, dan standar pembiayaan pendidikan.
Selain itu, pelatihan bagi guru, khususnya terkait pembelajaran yang berorientasi pada kemampuan berpikir tingkat tinggi (HOTS) juga perlu diperkuat.
"Kami harap Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan segera membuat semacam Buku Panduan Pembelajaran Berbasis HOTS bagi para guru, yang terdistribusikan secara nasional dan bisa diakses online untuk dipelajari mandiri jika pemerintah tidak mampu membuat pelatihan guru yang mengakomodir semua guru," ujarnya.