Kasus kejahatan seksual terhadap anak di Provinsi Aceh masih marak. Dalam sepekan terakhir, empat anak perempuan menjadi korban pencabulan.
Oleh
ZULKARNAINI
·3 menit baca
BANDA ACEH, KOMPAS — Kasus kejahatan seksual terhadap anak di Provinsi Aceh masih marak. Dalam sepekan terakhir, empat anak perempuan menjadi korban pencabulan. Perlindungan terhadap anak dinilai masih lemah.
Direktur Reserse Kriminal Umum Kepolisian Daerah Aceh Komisaris Besar Agus Sarjito, Kamis (2/5/2019), mengatakan, kasus itu terjadi di Kota Banda Aceh, Kota Langsa, Kabupaten Aceh Tamiang, dan Kabupaten Aceh Tengah. ”Banyak faktor pemicu, tetapi penggunaan media sosial di luar batas paling dominan,” kata Agus.
Korban pertama adalah seorang anak berusia 15 tahun, warga Langsa. Dia menjadi korban pencabulan oleh ASR (21), warga Langsa. Korban dicabuli oleh pelaku, yang merupakan teman sendiri, sebanyak tiga kali. Korban kedua adalah seorang anak berusia 17 tahun, warga Aceh Utara. Ia dicabuli oleh FS (19), warga Aceh Tamiang. Korban yang baru beberapa hari kenal pelaku diajak jalan-jalan menggunakan mobil pelaku. Korban dicabuli di dalam mobil tersebut.
Kemudian, korban ketiga adalah seorang anak berusia 12 tahun, warga Aceh Tengah. Dia dicabuli oleh SMD (28), yang juga warga Aceh Tengah, sebanyak dua kali. Korban keempat adalah anak berusia 16 tahun, yang menjadi korban pencabulan oleh MR (16). Korban dicabuli oleh pelaku di rumah sakit di Kota Banda Aceh saat menunggui temannya yang sedang dirawat.
Agus mengatakan, para pelaku kejahatan itu telah ditahan di kantor kepolisian resor tempat kejadian. Sementara korban didampingi untuk pemulihan trauma. Orangtua, ujarnya, cenderung lengah mengawasi pergaulan anak sehingga anak bertindak di luar batas kewajaran. Di samping itu, pengaruh media sosial dan dunia digital mendorong pelaku berbuat kejahatan.
Kasus kejahatan terhadap anak di Aceh tinggi. Data dari Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Aceh, kasus kekerasan terhadap anak mencapai 1.259 kasus pada 2017. Dari jumlah itu, 428 kasus adalah pelecehan seksual. Sementara pada 2016 tercatat 1.330 kasus dengan 268 kasus di antaranya merupakan pelecehan seksual.
Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Aceh Nevi Ariyani mengatakan, tingkat kekerasan terhadap anak kian mengkhawatirkan. Dia meyakini, kasus yang tidak muncul lebih tinggi daripada yang terlaporkan.
Nevi mengatakan, kepekaan sosial di lingkungan warga lemah. Warga baru menganggap persoalan ini serius setelah menimpa keluarga. Padahal, kepedulian terhadap lingkungan sangat penting untuk mencegah terjadinya kekerasan pada anak.
Nevi menambahkan, dalam banyak kasus, pelaku pelecehan seksual umumnya terpicu karena sering mengakses konten pornografi di internet. ”Pelaku melampiaskan kepada anak karena dianggap lemah,” ujarnya.
Dosen Sosiologi Universitas Syiah Kuala, Saleh Sjafie, menuturkan, kemajuan teknologi telah mengikis nilai komunal pada masyarakat desa. Warga menciptakan ruang privasi melalui telepon pintar. Akibatnya, relasi sosial semakin luntur.
”Rasa kebersamaan, saling mengawasi, dan peduli sesama kian memudar. Padahal, pada masyarakat perdesaan, kebersamaan ini adalah karakter utama. Namun, sayangnya, sekarang semakin terkikis,” ujar Saleh.
Menurut dia, kelembagaan desa, tokoh masyarakat, dan orangtua harus bergerak membangun kembali kebersamaan agar saling peduli.