Siswa Disiapkan Berdaya Saing
Pembelajaran berbasis penalaran tinggi diharapkan menjadi modal bagi siswa untuk menjawab tantangan abad ke-21, menjadi manusia yang kreatif dan inovatif.
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah semakin serius menerapkan sistem pembelajaran berbasis kemampuan nalar tingkat tinggi untuk menghasilkan peserta didik yang berdaya saing tinggi. Setelah menerapkan Kurikulum 13 sejak 2014 yang sangat akomodatif dengan pengembangan nalar, dua tahun terakhir soal-soal yang berbasis penalaran tinggi diujikan dalam Ujian Nasional meski baru 10 persen.
Sistem pembelajaran berbasis kemampuan nalar tingkat tinggi atau Higher Order Thinking of Skills (HOTS) tidak hanya membutuhkan kemampuan mengingat saja, tetapi lebih tinggi lagi, yaitu kemampuan berpikir kreatif dan kritis. Kemampuan ini penting untuk menjawab tantangan abad ke-21. Di sisi lain, berdasarkan sejumlah pengukuran, kemampuan siswa Indonesia atau kualitas pendidikan di Indonesia masih rendah. Hasil UN SMP, SMA, SMK masih rendah bahkan menurun.
Hasil PISA (Programme for International Student Assessment) 2015 juga menunjukkan kemampuan dasar siswa Indonesia berusia 15 tahun di bidang sains, membaca, dan matematika masih rendah. Kemampuan siswa Indonesia di bidang sains 403, membaca 397, dan matematika 386, di bawah rata-rata negara yang tergabung dalam Organization for Economic Cooperation and Development (OECD), yaitu 493, 493, dan 490. Di antara negara-negara ASEAN, peringkat Indonesia di bawah Thailand dan Vietnam.
Demikian juga hasil Asesmen Kompetensi Siswa Indonesia (AKSI) yang dilakukan Pusat Penilaian Pendidikan dan Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Tahun 2016, pencapaian siswa di bidang matematika, sains, dan membaca masih rendah. Hasil AKSI 2016, persentase pencapaian siswa yang kurang di bidang matematika 77,13 persen, sains 73,61 persen, dan membaca 46,83 persen siswa.
“Rata-rata pembelajaran di sekolah lebih banyak di bawah kemampuan mengetahui atau sekadar pada tingkatan menghafal,” kata Rektor Universitas Sebelas Maret yang juga Ketua Lembaga Tes Masuk Perguruan Tinggi Ravik Karsidi saat dihubungi Kompas di Jakarta, Senin (29/4/2019).
Akibatnya, siswa kesulitan memahami materi soal HOTS yang menuntut kemampuan menganalisa. Hal itu seperti dialami Bernadus Valentin (18), siswa SMAN 6 Tambun Selatan, yang mengaku kesulitan mengerjakan soal UN yang menuntut berpikir lebih. Dia terbiasa mengerjakan soal dengan rumus yang dihapalkannya.
Bernadus Valentin (18), siswa SMAN 6 Tambun Selatan, yang mengaku kesulitan mengerjakan soal UN yang menuntut berpikir lebih. Dia terbiasa mengerjakan soal dengan rumus yang dihapalkannya.
“Coba dipikir, ada soal yang minta kita ngitung kemungkinan password untuk buat akun e-mail si Zaky. Itu Zaky yang buat email, kita yang pusing. Belum lagi soal yang suruh ngitung batu bata yang dibutuhin untuk bangun gapura bentuk segitiga. Pusing!” katanya.
Nadhifa Marsaa (17), siswa SMAN 48 Jakarta, juga mengeluhkan hal yang sama. Tidak sedikit soal matematika pada UN yang membuatnya harus berpikir keras. Menurutnya, soal-soal seperti itu tidak biasa diberikan ketika di kelas.
“Sebenarnya jawaban dan rumus yang digunakan sama. Tetapi kata-kata dan contoh kasusnya itu yang muter-muter, jadi kita dibuat susah. Biasanya kan soal UN tidak jauh beda sama kisi-kisi dan latihan sebelumnya,” ujarnya. Selama pelajaran di sekolah, Nadhifa mengaku lebih banyak diajarkan teori dan hitungan.
Perancang Sistem Analisis Penilaian untuk Pusat Penilaian Pendidikan Kemdikbud Rahmawati mengatakan, Kemdikbud memiliki 20 paket soal Matematika untuk UN. Di UN 2019 setiap paket memiliki satu soal isian singkat. Hasil rata-rata yang diperoleh hanya 22 persen siswa bisa mengisi soal tersebut dengan prosedur yang sesuai konsep.
Mudah diadaptasi
Kepala Pusat Kurikulum Kemdikbud Awaluddin Tjalla mengatakan, rancangan Kurikulum 2013 sebenarnya sangat akomodatif dengan pengembangan nalar. Materi di dalamnya lentur untuk diadaptasi sesuai dengan kondisi wilayah dan kelas yang dihadapi oleh tiap-tiap guru. Semestinya, hal ini bisa membuat pembelajaran mengena dengan kehidupan sehari-hari siswa.
Pembelajaran yang berbasis HOTS membutuhkan kemampuan guru untuk menyampaikan materi pelajaran yang mematangkan konsep. Di satu sisi, kata Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Kemdikbud Totok Suprayitno, juga membutuhkan kemampuan literasi yang baik pada siswa.
Pembelajaran yang berbasis HOTS membutuhkan kemampuan guru untuk menyampaikan materi pelajaran yang mematangkan konsep.
Ketua Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP) Matematika SMA Kabupaten Sumedang, Jawa Barat, Titin Suryati Sumadewi, mengatakan, masih banyak guru yang belum menerapkan HOTS dalam mengajar. Dalam hal ini, guru dituntut mampu merumuskan soal yang memuat masalah yang kontekstual, yang sesuai dengan kehidupan sehari-hari, dikaitkan dengan konsep matematika.
Menurut Theresia Ambar, guru Matematika di SMAK Penabur Jakarta, menerapkan HOTS artinya anak harus tahu dasar-dasar rumus yang digunakan. Sementara, anak selama ini sudah terbiasa dengan menghapal rumus dan memasukkan angka untuk dihitung. “Kalau soalnya diubah sedikit yang lebih menuntut penalaran, anak sudah pusing,” katanya.
(DEONISIA ARLINTA/PRAYOGI DWI SULISTYO/LARASWATI ARIADNE ANWAR/SAMUEL OKTORA)