Transportasi Sumbang Inflasi, Waspadai Harga Minyak Dunia
Kelompok transportasi dalam tujuh bulan berturut-turut, yakni Oktober 2018-April 2019, menjadi salah satu penyumbang utama inflasi, kecuali pada Januari 2019.
Oleh
Karina Isna Irawan
·2 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kelompok transportasi dalam tujuh bulan berturut-turut, yakni Oktober 2018-April 2019, menjadi salah satu penyumbang utama inflasi, kecuali pada Januari 2019. Situasi itu dipengaruhi fluktuasi harga minyak dunia dan volatilitas kurs rupiah.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik yang dirilis pada Kamis (2/5/2019), inflasi pada April 2019 sebesar 0,44 persen sehingga inflasi tahun kalender 2019 tercatat 0,8 persen. Kelompok transportasi, komunikasi, dan jasa keuangan kembali menjadi salah satu penyumbang utama inflasi dengan andil 0,05 persen.
BPS menyebutkan, sumbangan inflasi terbesar dari kelompok tersebut adalah transportasi yang terdiri dari tarif angkutan udara sebesar 0,03 persen dan mobil sebesar 0,01 persen. Adapun kelompok komunikasi mengalami deflasi, sementara kelompok jasa keuangan tidak berubah.
Dalam kurun waktu Oktober 2018 sampai April 2019, kelompok transportasi menjadi salah satu penyumbang utama inflasi. Subkelompok paling dominan menyumbang inflasi adalah tarif angkutan udara yang bergerak dalam rentang 0,01-0,05 persen.
Dalam kurun waktu Oktober 2018 sampai April 2019, kelompok transportasi menjadi salah satu penyumbang utama inflasi,
Dekan Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia Ari Kuncoro berpendapat, kelompok transportasi yang berturut-turut masuk sebagai penyumbang inflasi dipengaruhi depresiasi kurs rupiah. Sebagian besar bahan bakar pesawat (avtur) impor sehingga berdampak langsung terhadap tarif pesawat.
”Harga rata-rata minyak dunia jenis WTI ada kemungkinan bergerak mendekati 67 dollar AS per barel,” kata Ari Kuncoro yang ditemui seusai mengisi seminar makro ekonomi dalam rangka HUT ke-39 Yayasan Dharma Bhakti Astra, Kamis (2/5/2019), di Jakarta.
Menurut Ari, tingkat inflasi sepanjang tahun ini bergantung pada pergerakan harga minyak dunia. Tidak hanya inflasi, harga minyak dunia juga akan berdampak terhadap kinerja neraca perdagangan. Harga minyak dunia bisa bergerak rendah, di level 60 dollar AS per barel, jika Presiden AS Donald Trump berhasil membujuk Arab Saudi meningkatkan produksinya.
Meski demikian, lanjut Ari, risiko akibat harga minyak dunia bisa muncul jika Arab Saudi tidak menambah produksi dan AS tetap menetapkan sanksi ekspor minyak bagi Iran. Pasokan minyak dunia akan turun sehingga harganya bisa terus merangkak naik hingga menembus rata-rata 70 dollar AS per barel.
”Intinya, kita harus tetap siap-siap seandainya ada tekanan dari harga minyak,” kata Ari.
Dikutip dari laman Bloomberg, Kamis sore, harga minyak jenis WTI turun 1,23 persen menjadi 62,82 dollar AS per barel, sementara harga minyak jenis Brent turun 1,19 persen menjadi 71,32 dollar AS per barrel.
Secara terpisah, ekonom PT Bank Permata Tbk, Josua Pardede, berpendapat faktor eksternal yang cukup berisiko untuk Indonesia dalam jangka pendek, yakni kenaikan harga minyak dunia. Situasi ini mesti diwaspadai pemerintah karena akan berdampak pada neraca perdagangan, neraca transaksi berjalan, dan stabilitas fiskal.