Tren Belanja Daring Meningkat, Mal Dituntut Bertransformasi
Pusat perbelanjaan atau mal masih menjadi tempat favorit masyarakat untuk berbelanja di tengah melonjaknya tren belanja daring. Meski begitu, mal dituntut untuk terus bertransformasi karena ada tren perubahan pola belanja, khususnya di kalangan anak muda.
Oleh
ELSA EMIRIA LEBA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pusat perbelanjaan atau mal masih menjadi tempat favorit masyarakat untuk berbelanja di tengah melonjaknya tren belanja daring. Meski begitu, mal dituntut untuk terus bertransformasi karena ada tren perubahan pola belanja, khususnya di kalangan anak muda.
Litbang Kompas melakukan survei kuantitatif terkait tren retail selama 23-25 April 2019. Survei dilakukan pada 544 responden yang berdomisili di area Jabodetabek. Metode ini diperkirakan memiliki simpang kesalahan atau margin of error lebih kurang 4,6 persen.
Peneliti Litbang Kompas, BE Satrio, mengatakan, berdasarkan survei, sebanyak 87,7 persen masih memilih mal sebagai tempat untuk membeli barang. Sebanyak 12,3 persen lainnya lebih memilih untuk berbelanja secara daring.
”Jumlah penurunan minat berbelanja ke mal hanya sekitar 3 persen jika dibandingkan dengan hasil survei serupa yang kami lakukan pada 2017,” kata Satrio dalam diskusi yang diselenggarakan harian Kompas bertajuk ”Shopping Trend at A Glance” bersama Asosiasi Pengelola Pusat Belanja Indonesia (APPBI) di Jakarta, Kamis (2/5/2019).
Namun, lanjut Satrio, sekalipun minat berbelanja di mal masih tinggi, survei menemukan lebih banyak anak muda yang memilih berbelanja secara daring ketimbang secara luring. Sebanyak 31,8 persen kelompok usia 17-24 tahun lebih memilih berbelanja secara daring.
Sekalipun minat berbelanja di mal masih tinggi, survei menemukan lebih banyak anak muda yang memilih berbelanja secara daring ketimbang secara luring.
Kelompok usia tersebut memiliki preferensi terbesar untuk berbelanja secara daring dibandingkan dengan kelompok usia lainnya. Adapun kelompok usia 45 tahun ke atas memiliki preferensi terkecil untuk berbelanja secara daring, yaitu 8,1 persen.
Survei juga menyebutkan, seluruh kelompok usia memiliki preferensi tertinggi untuk pergi ke mal guna sekadar berjalan-jalan. Preferensi lainnya adalah berbelanja, makan, dan tempat anak bermain.
Secara berturut-turut, besaran preferensi masyarakat untuk pergi ke mal untuk berjalan-jalan berdasarkan kelompok umur adalah usia 17-24 tahun (40,9 persen), 25-34 tahun (31,3 persen), 35-44 tahun (31,1 persen), dan 45 tahun ke atas (29,1 persen).
”Di sini terlihat mal memegang peran penting sebagai public space (tempat umum). Masyarakat masih belum konsumtif, tetapi ada peluang bagi mal untuk mengalih fungsi gerai yang sudah tutup untuk kegiatan publik lainnya,” kata Satrio.
Ketua APPBI Dewan Pengurus Daerah DKI Jakarta Ellen Hidayat menyampaikan, pusat perbelanjaan mulai mengubah komposisi jenis penyewa area (tenant) dalam mal sesuai dengan preferensi masyarakat saat ini. Perubahan telah dilakukan sejak tiga tahun terakhir.
”Sejak dulu, mal memang sebenarnya berfungsi sebagai public space. Namun, masyarakat kebanyakan masih menganggap mal hanya sebagai tempat berbelanja,” tuturnya.
Sejak dulu, mal memang sebenarnya berfungsi sebagai public space. Namun, masyarakat kebanyakan masih menganggap mal hanya sebagai tempat berbelanja
Menurut Ellen, perubahan yang dilakukan antara lain meningkatkan jumlah penyewa area pada kategori hiburan (entertainment). Komposisi penyewaaan area setiap mal rata-rata ditingkatkan dari 10 persen menjadi 15-20 persen.
Mal-mal, Ellen melanjutkan, mulai menambah berbagai macam hiburan, seperti bioskop, tempat permainan anak, dan co-working space. Salah satu mal yang telah menerapkan strategi itu adalah Baywalk Mall, Jakarta Utara, yang baru saja meluncurkan Inhype Commune Space.
Kesetaraan pajak
Ellen mengatakan, tidak bisa dimungkiri bahwa mal masih menghadapi persaingan sengit dengan adanya tren belanja daring. Untuk itu, pihak pengelola mal ingin ada kesetaraaan pajak bagi penjual luring dan daring.
Menurut dia, sejumlah penjual daring, terlebih yang menjual barang impor, tidak dikenai pajak yang sama dengan pajak yang diterima para penjual retail. ”Padahal, mal merupakan salah satu unsur pendorong perekonomian,” kata Ellen.
Dalam cuplikan survei nasional yang dilakukan Litbang Kompas pada 2.000 responden selama Februari-Maret 2019, pola belanja kebutuhan pakaian mulai bergeser secara daring. Sebanyak 87,3 persen memilih berbelanja pakaian dan aksesori secara daring, sedangkan 10,3 persen memilih berbelanja secara daring.