Wadah Pekerja yang Rentan Kehilangan Haknya
“Selamat Hari Buruh. Juga untuk buruh yang tak suka disebut buruh dan lebih nyaman disebut karyawan, pegawai, dosen, pilot, perawat, desainer, barista, chef, tenaga ahli, dan sebagainya.” demikian cuitan sejarawan Ariel Heryanto, saat Hari Buruh Internasional yang jatuh pada 1 Mei 2019.
Cuitan itu mengingatkan pada stigma yang lekat pada serikat buruh (SB) di era Orde Baru. Saat itu, buruh identik dengan pekerja kelas rendah, atau isilah lainnya buruh berkerah biru. Pada perjalanannya, citra itu yang membuat sebagian buruh tidak mau disebut sebagai buruh.
Selama dua tahun terakhir, Serikat Pekerja Media dan Industri Kreatif untuk Demokrasi atau Sindikasi, berusaha mengikis stigma itu. Mereka mengajak pekerja Ibu Kota agar mau berserikat, khususnya pekerja tanpa ikatan jam kantor yang kaku. Langkah ini tidak mudah.
Ketua Sindikasi Ellena Ekarahendy, Kamis (2/5/2019) menerangkan, stigma negatif SB terus melekat hingga kini di kalangan pekerja. Narasi tentang SB sering kali disalahpahami. Melalui Kelas Akhir Pekan yang digelar setiap bulan, Sindikasi menerangkan kerentanan pekerja digital yang digadang-gadang menjadi salah satu pekerjaan masa depan.
Narasi pencerahan itu disusun dari kenyataan di lapangan. Misalnya dengan menanyakan jumlah jam kerja serta gaji yang didapat setiap bulan. “Jangan ngata-ngatain buruh demo, tapi gaji sendiri di bawah Upah Minimum Regional. Bisa jadi gaji buruh itu lebih besar dari mereka yang protes buruh pada demo,” kata Alumnus Universitas Bina Nusantara ini, meyakinkan calon anggota.
Untuk menyadarkan bahwa mereka ada buruh, pegiat Sindikasi membangun kesadaran kelas pekerja di forum yang sama. Mereka memberi pengertian peserta diskusi bahwa setiap individu yang berelasi dengan perusahaan adalah buruh. Namun langkah ini memerlukan waktu.
Ellena menyadari itu. “Aku sambil nulis, ya,” katanya sambil bekerja di sekretariat Sindikat di bilangan Cilandak, Jakarta Selatan. Di samping Ellena, seorang lelaki bernama Rio memantau layar komputer jinjing. Wartawan media dalam jaringan itu sedang mengedit berita kiriman reporter. Wartawan dan pekerja kreatif lain menjadikan tempat itu sebagai ruang berinteraksi dan berbagi.
Di ruang berwana biru laut itu, terdapat papan tulis berisi daftar artikel yang terbit di sejumlah media daring. Artikel itu ditulis anggota Sindikasi yang berisi tentang persoalan perburuhan.
Saat perayaan Hari Buruh, Pengurus Sindikasi Divisi Riset dan Edukasi Farhanah, berhasil meyakinkan teman kantornya untuk "turun ke jalan". Sindikasi menggelar Kirab Hari Buruh di Jalan Protokol Ibu Kota. Sejumlah anggota yang berasal dari pekerja media, peneliti, dan penulis, berorasi di jalan.
"Ketika mau pulang, aku tanya temanku itu, \'Kamu kapok, nggak ikut aksi?\' Terus temanku itu tertawa," kata Farhanah.
Sindikasi resmi terdaftar sebagai SB pertengahan 2017. Hingga kini, serikat ini beranggotakan sekitar 200 orang. Komposisinya 73 persen pekerja industri kreatif dan sisanya pekerja media. Sebanyak 39 persen anggota berstatus pekerja tetap, sisanya kontrak.
Ellena menerangkan, Sindikasi berangkat dari kegelisahan akan kondisi kerja yang hancur-hancuran. Banyak pekerja kreatif yang mendedikasikan waktunya tanpa batasan yang jelas. Hubungan industrial dengan perusahannya pun tidak sama dengan pekerja di sektor manufaktur. Banyak dari mereka bekerja dalam rentang waktu panjang tanpa disertai perlindungan.
Baca juga : Mereka yang Tak Ikut Turun ke Jalan
Ellena baru saja berhenti dari pekerjaan sebelumnya, sebagai direktur seni di sebuah studio di Jakarta. Dengan jam kerja sepuluh jam sehari, Ellena kelimpungan mengatur waktu. Ia merasa tenaga yang dikeluarkannya tidak sebanding dengan jumlah rupiah yang didapat. Tidak disebutkan berapa persisnya. “Yang pasti di bawah dua digit,” katanya. Sekarang, ia memilih menjadi pekerja lepas.
Sindikasi, lanjut Ellena, mendesak negara hadir untuk melindungi pekerja, termasuk pekerja fleksibel. Menurutnya, Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan belum mampu melindungi angkatan kerja fleksibel yang dijelaskan di atas. Sementara di sisi lain, angkatan kerja lepas ini sedang tren di lapangan.
Berbeda dengan SB konvensional, Sindikasi tidak berada di bawah perusahaan tertentu. Basis keanggotaan Sindikasi juga berbeda dengan SB konvensional yang anggotanya berasal dari buruh manufaktur. Sindikasi menjadi wadah pekerja media dan industri kreatif.
Selama periode 2018, Sindikasi mendampingi enam kasus terkait hubungan industrial. Kasus itu melingkupi pemutusan hubungan kerja secara sepihak dan gaji yang telat bayar. Dari enam kasus itu, hanya dua yang berhasil diselesaikan.
Ellena menyadari, serikatnya tidak kuat secara jumlah. Untuk meningkatkan daya tawar serikat, dia meningkatkan daya kritis anggota dan menggencarkan kampanye di media sosial.
Mereka menarget pekerja milenial yang minim pengetahuan soal SB. Berhubung audiences-nya milenial, pesan kampanye pun diselaraskan. Tengok saja postingan mereka di akun Instagram. Alih-alih bikin kening berkerut, kalimat poster yang mereka gunakan sewaktu aksi May Day malah terasa satir.
“Kerja mulu, kaya kagak”
“Banyak kerja, minim harta, lekas mati muda”
Demikian nukilan kalimat kreatifyang mereka sebar di media sosial. Apakah efektif ? Yang pasti dari sisi keanggotaan, jumlah pekerja yang bergabung ke Sindikasi terus bertambah. Pada saat didirikan, jumlah anggota Sindikasi berjumlah sekitar 30 orang. Dua tahun berlalu, jumlahnya naik menjadi 200 anggota. Mereka tersebar di kota besar, seperti Jakarta, Bandung, dan Makassar.
Lantas bagaimana mereka menghidupi serikat? Setiap anggota urunan sebesar Rp 25.000 per bulan. Di samping itu, Sindikasi juga mendapat dana hibah dari konfederasi serikat pekerja Belanda. Mereka juga menyisihkan simpanan setiap kali menggarap acara-acara komersial. Bagaimana, Anda berminat ?