Jurnalis Malang Peringati Hari Kebebasan Pers Internasional
Puluhan awak media di Malang, Jawa Timur, Jumat (3/5/2019) pagi, memperingati hari Kebebasan Pers Internasional dengan menggelar aksi damai di Alun-alun Kota Malang. Para jurnalis menyayangkan masih terjadinya tindak kekerasan yang dilalukan terhadap mereka saat menjalankan tugas, termasuk oleh oknum aparat.
Oleh
DEFRI WERDIONO
·3 menit baca
MALANG, KOMPAS — Puluhan awak media di Malang, Jawa Timur, Jumat (3/5/2019) pagi, memperingati hari Kebebasan Pers Internasional dengan menggelar aksi damai di Alun-alun Kota Malang. Para jurnalis menyayangkan masih terjadinya tindak kekerasan yang dilalukan terhadap mereka saat menjalankan tugas, termasuk oleh oknum aparat.
Aksi itu tidak hanya dilakukan oleh awak media cetak dan elektronik, tetapi juga aktivis pers mahasiswa. Selain membentangkan sejumlah poster, mereka juga berorasi silih berganti.
Dalam aksi kali ini, para awak media mengecam tindak kekerasan terhadap awak media yang masih terus terjadi, termasuk kasus kekerasan terbaru yang menimpa dua wartawan saat meliput Hari Buruh Sedunia di Bandung, Jawa Barat, 1 Mei kemarin. Keduanya adalah fotografer Tempo, Prima Mulia, dan jurnalis lepas Iqbal Kusumadireza.
”Masih banyak kekerasan terjadi. Dan pelaku tetap dominan dilakukan oleh aparat, organisasi massa. Ini kejadian yang buruk. Harusnya mereka melindungi, tetapi justru melakukan kekerasan terhadap kawan-kawan jurnalis yang tengah menjalankan tugas,” kata Abdul Malik, Koordinator Aksi.
Masih banyak kekerasan terjadi. Dan pelaku tetap dominan dilakukan oleh aparat, organisasi massa. Ini kejadian yang buruk. Harusnya mereka melindungi, tetapi justru melakukan kekerasan terhadap kawan-kawan jurnalis yang tengah menjalankan tugas.
Menurut peserta aksi, kebebasan pers di Indonesia membaik setelah reformasi, tetapi kini stagnan. Indeks kebebasan pers yang diluncurkan Reporters Without Borders (RSF) Indonesia tetap berada di peringkat ke-124.
Aliansi Jurnalis Independen juga mencatat selama kurun waktu setahun, sejak Mei 2018-Mei 2019, terjadi 42 kasus kekerasan terhadap jurnalis. Terbanyak terjadi kekerasan fisik 17 kasus, pemidanaan 7 kasus, dan ancaman kekerasan atau teror 6 kasus. Pelaku terbanyak adalah warga sebanyak 10 kasus; polisi 7 kasus, ormas 6 kasus, dan aparat pemerintah 5 kasus.
Para jurnalis di Malang juga menilai bahwa remisi untuk Susrama, otak pembunuh jurnalis Radar Bali, Prabangsa, dari hukuman seumur hidup menjadi 20 tahun mencederai kebebasan pers meskipun kemudian dibatalkan setelah jurnalis dan organisasi pers ramai-ramai memprotes remisi tersebut.
Selain itu, Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) turut mengancam kebebasan pers di Indonesia. Berdasarkan laporan Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFEnet) selama 10 tahun terakhir sejak 2008-2018, sebanyak 245 laporan warga yang dijerat UU ITE, termasuk pemidanaan 14 jurnalis dan tujuh media.
Sejauh ini, menurut mereka, juga masih ada pembiaran kasus jurnalis yang terbunuh karena berita. Beberapa korban antara lain Fuad Muhammad Syarifuddin alias Udin, jurnalis harian Bernas Yogyakarta; Naimullah, jurnalis Sinar Pagi; Agus Mulyawan, jurnalis Asia Press; Kameramen TVRI, Muhammad Jamaluddin; dan Ersa Siregar, jurnalis RCTI.
Atas kondisi kemerdekaan pers di Indonesia, jurnalis Malang Raya menyerukan kepada jurnalis untuk mematuhi kode etik dan memegang teguh UU Pers dalam melaksanakan kerja jurnalistik.
Mereka juga meminta semua pihak untuk menggunakan mekanisme yang diatur UU Pers dalam menyelesaikan sengketa pemberitaan. Dan hentikan impunitas, usut dan ungkap kembali kasus jurnalis yang terbunuh karena berita.
Sementara itu, Ugik Endarto dari Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia Kota Malang, mengatakan, kebebasan pers di lingkup kampus juga masih isapan jempol. Di Malang sendiri kasus-kasus yang menimpa kebebasan pers masih sering terjadi.
”Kampus yang menjadi mimbar akademik dan tempat menjunjung tinggi kebebasan justru terbelenggu. Pers mahasiswa masih sering terintimidasi. Penyensoran timpa pers mahasiswa dan menjadikan pers mahasiswa hanya menjadi humas kampus,” ucapnya.