Menebak Arah Koalisi Parpol
Penetapan rekapitulasi perolehan suara tingkat nasional Pemilu 2019 dijadwalkan 22 Mei 2019. Namun, sejumlah perjumpaan politisi lintas partai belakangan ini mulai dimaknai langkah awal menyusun peta koalisi seusai pemilu.
Dinamika politik seusai Pemilihan Presiden 2014 diprediksi kembali terulang setelah Pemilu 2019. Hal ini salah satunya ditandai dengan kemungkinan perpindahan partai politik pada koalisi yang berseberangan.
Setelah pemilu lima tahun lalu, sejumlah partai politik yang tergabung dalam Koalisi Merah Putih yang mengusung pasangan calon presiden dan calon wakil presiden Prabowo Subianto-Hatta Rajasa memutuskan merapat ke kubu Joko Widodo-Jusuf Kalla yang membentuk Koalisi Indonesia Hebat. Parpol itu ialah Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Partai Amanat Nasional (PAN), dan Partai Golkar.
https://kompas.id/baca/utama/2019/04/22/pastikan-kesesuaian-perolehan-suara-peserta-pemilu/
Setelah Pemilu 2019, pertemuan Ketua MPR Zulkifli Hasan, sekaligus Ketua Umum PAN, dengan Presiden Joko Widodo pada Rabu (24/4/2019) setelah pelantikan Gubernur dan Wakil Gubernur Maluku, Murad Ismail dan Barnabas Orbo, memantik spekulasi perubahan susunan koalisi. Pada Pemilu 2019, PAN tergabung dalam Koalisi Adil Makmur yang mendukung pasangan calon capres-cawapres Prabowo Subianto-Sandiaga Uno. Selain PAN, Partai Demokrat juga dinilai berpotensi beralih dukungan.
Pergerakan parpol pascapemilu, dinilai Djayadi Hanan, peneliti Saiful Mujani Research & Consulting, sebagai hal yang wajar. Koalisi presidensial, lanjut Djayadi, dibedakan dalam dua tahap, yakni koalisi untuk pemilu yang sudah terjadi saat ini dan koalisi pemerintahan.
Berdasarkan kalkulasi di atas kertas dengan mengacu pada hasil hitung cepat sejumlah lembaga survei, Jokowi memiliki dukungan memadai di parlemen. Dengan disokong lima partai yang diperkirakan memenuhi ambang batas parlemen, perkiraan kekuatan politik Jokowi-Amin di Senayan mencapai 53,87 persen suara. Kelima partai itu adalah PDI-P, Golkar, Nasdem, PKB, dan PPP (Kompas, 28 April 2019).
”Dari segi jumlah kursi itu sudah cukup, tetapi dari segi jumlah partai dalam sistem koalisi presidensial sangat mungkin terjadi pembelotan karena isu atau kebijakan tertentu. Karena itu, koalisi pemerintahan biasanya lebih besar dibandingkan koalisi pemilu untuk berjaga-jaga jika ada partai yang membelot,” ujar Djayadi dalam Bincang Satu Meja The Forum bertajuk ”Politik Partai Pascapilpres” yang disiarkan di Kompas TV, Rabu (1/5/2019).
Acara yang dipandu Wakil Pemimpin Umum Harian Kompas Budiman Tanuredjo itu dihadiri pembicara lain, yakni Wakil Sekretaris Jenderal Partai Golkar Maman Abdurrahman, Wakil Sekretaris Jenderal PDI-P Ahmad Basarah, Sekretaris Jenderal PAN Eddy Soeparno, Wakil Sekretaris Jenderal Partai Demokrat Rachland Nashidik, dan pengajar politik Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Adi Prayitno.
Adi menuturkan, sikap PAN dan Demokrat setelah Pemilu 2019 menjadi isu yang menarik. ”Demokrat merupakan kekuatan politik yang mewakili kelompok Cikeas. PAN cukup seksi karena narasi keislaman yang berbeda dengan PKB dan PPP. Berbeda dengan Gerindra dan PKS yang mendeklarasikan sebagai oposisi loyal, selama PAN dan Demokrat tak mendeklarasikan sikap politiknya, ajakan ’ngopi’ bersama terbuka,” ujarnya.
Berbeda konteks
Eddy menyampaikan, pilihan PAN meninggalkan Koalisi Merah Putih seusai Pilpres 2014 sesuai visi dan misi partai untuk mendukung pembangunan Indonesia yang bertujuan menyejahterakan rakyat.
Kemenangan Jokowi-Kalla pada Pemilu 2014 tak sejalan dengan hasil pemilu anggota legislatif. Jumlah kursi yang dimiliki Koalisi Indonesia Hebat tidak memadai untuk mendukung berbagai kebijakan yang diinisiasi pemerintah.
Sebaliknya, pada Pemilu 2019, Eddy menyebutkan, PAN terikat kontrak politik dengan Koalisi Adil Makmur sehingga berkomitmen mengikuti prosesnya hingga proses Pemilu 2019 berakhir dan menanti pertemuan khusus dengan Prabowo untuk membahas kelanjutan arah koalisi.
Rachland enggan membahas kemungkinan perubahan koalisi. Menurut Rachland, pembicaraan mengenai koalisi belum relevan mengingat hasil Pemilu 2019 belum resmi diumumkan. Berbagai kemungkinan tetap terbuka, tetapi saat ini Demokrat tetap solid mendukung Prabowo-Sandi.
Maman berpandangan, pertemuan politisi berbeda kubu tidak melulu mengenai koalisi. Pertemuan Zulkifli Hasan dan Jokowi beberapa hari lalu, menurut Maman, mengandung makna lain dalam konteks kenegaraan, yakni upaya menjaga keutuhan bangsa yang patut diapresiasi.
”Pertemuan itu penting untuk memecahkan kebekuan atau kebuntuan komunikasi dalam situasi seperti sekarang ini. Memang pertemuan ini akan menjadi multimakna, tidak bisa dilepaskan juga dari konteks politik,” kata Maman.
Adapun Ahmad Basarah menuturkan, semua pihak perlu menunggu hasil resmi dari KPU sehingga pembahasan koalisi masih terlalu dini dibicarakan. ”Tinggal menunggu sampai diumumkan. Baru setelah itu dibicarakan grouping ini karena regrouping ini, kan, sangat cair, ya. Sekaligus berbicara lebih serius dengan satu prinsip negara gotong royong ini bisa diimplementasikan,” katanya.
Apa pun hasil pemilu dan konstelasi koalisi partai nantinya tentu masyarakat berharap hal itu bisa meredakan tensi politik yang tinggi akibat polarisasi dukungan, serta mampu membawa Indonesia semakin dekat ke arah negara kesejahteraan.