Nasib Kepemilikan Frekuensi Jadi Isu Utama Saat Konsolidasi
Status kepemilikan spektrum frekuensi menjadi isu utama dalam pembahasan realisasi kebijakan konsolidasi di industri telekomunikasi seluler. Sejauh ini, pemerintah telah memiliki tiga opsi terkait nasib spektrum frekuensi pascakonsolidasi terjadi.
Oleh
Mediana
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Status kepemilikan spektrum frekuensi menjadi isu utama dalam pembahasan realisasi kebijakan konsolidasi di industri telekomunikasi seluler. Sejauh ini, pemerintah telah memiliki tiga opsi terkait nasib spektrum frekuensi pascakonsolidasi terjadi.
Opsi pertama adalah spektrum frekuensi yang sebelumnya telah dimiliki setiap operator langsung melekat begitu konsolidasi terjadi. Kedua, sebagian spektrum frekuensi yang dipunyai dimiliki dan sisanya harus dikembalikan ke negara untuk dilelang ke pasar.
Terakhir, sebagian spektrum frekuensi diserahkan kepada negara secara temporer. Negara akan menyerahkannya kembali ke operator yang sudah berkonsolidasi apabila pemerintah menilai komitmen pembangunan infrastrukturnya lancar dan permintaan layanan seluler terus meningkat.
”Kami sekarang amat mendorong operator-operator telekomunikasi seluler melakukan konsolidasi, baik berupa merger maupun akuisisi. Tahun-tahun sebelumnya, sikap kami hanya menyarankan dan mengimbau, tetapi kini high encourage. Tujuannya adalah mengefisienkan serta menyehatkan industri telekomunikasi seluler,” ujar Direktur Jenderal Sumber Daya Perangkat Pos dan Informatika Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemkominfo) Ismail, di sela-sela seminar Konsolidasi, Jurus Pamungkas Sehatkan Industri Telekomunikasi, Kamis (2/5/2019), di Jakarta.
Dia menyadari bahwa kekhawatiran utama operator mengenai konsolidasi adalah nasib kepemilikan spektrum frekuensi yang mereka telah miliki sebelumnya. Maka, opsi status kepemilikan spektrum frekuensi akhirnya keluar meskipun baru sebatas wacana dan belum ditetapkan.
Opsi status kepemilikan spektrum frekuensi akhirnya keluar meskipun baru sebatas wacana.
Di luar wacana tiga opsi tersebut, Kemkominfo sudah memetakan kebutuhan jenis spektrum frekuensi beserta lebar pita sampai 10 tahun mendatang. Sebagai contoh, spektrum frekuensi 700 megahertz (MHz), 2,6 gigahertz (GHz), dan 3,5 GHz. Dengan demikian, menurut dia, seharusnya operator tidak perlu terlalu khawatir.
Ismail menegaskan, setiap opsi status kepemilikan frekuensi memerlukan kajian kepentingan ekonomi, baik untuk operator yang berkonsolidasi maupun pendapatan negara. Dalam pembahasan wacana tiga opsi itu, Kemkominfo melibatkan Kementerian Keuangan dan Badan Pemeriksa Keuangan.
Sebagai ilustrasi, dia mencontohkan opsi ketiga yang menyebutkan sebagian spektrum frekuensi milik operator yang berkonsolidasi wajib diserahkan secara temporer kepada negara. Pemerintah perlu menghitung potensi kehilangan nilai pendapatan pajak atas biaya hak pemakaian spektrum frekuensi yang ditahan itu.
Ismail mengatakan, dasar hukum konsolidasi sudah terangkum di beberapa regulasi. Misalnya, Undang-Undang (UU) Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, UU Nomor 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi, dan Peraturan Pemerintah Nomor 53 Tahun 2000 tentang Penggunaan Spektrum Frekuensi Radio dan Orbit Satelit.
Dia tidak menjelaskan apakah tiga opsi status kepemilikan spektrum frekuensi akan diatur dalam peraturan khusus mengenai konsolidasi.
Per 31 Desember 2018, XL Axiata membukukan kenaikan penjualan dan pendapatan usaha sebesar 0,4 persen atau menjadi Rp 22,938 triliun. Indosat Ooredoo membukukan penurunan pendapatan 22,7 persen menjadi Rp 23,1 triliun tahun lalu. Pendapatan Hutchison Tri Indonesia mencapai lebih dari 1 miliar dollar AS atau naik dua digit dibanding tahun 2017.
PT Telkom Indonesia (Persero) Tbk (Telkom) mencatatkan pendapatan konsolidasi Rp 130,8 triliun, tumbuh tipis sebesar 2 persen dibanding tahun 2017. Pendapatan anak usahanya, Telkomsel, mencapai Rp 89,3 triliun.
Pendapatan usaha Smartfren Telecom tercatat Rp 5,4 triliun pada 2018. Tahun sebelumnya, nilai pendapatan usaha perusahaan ini Rp 4,6 triliun.
Tidak efisien
Pada saat bersamaan, Menkominfo Rudiantara memandang kehadiran enam operator telekomunikasi seluler terlalu banyak sehingga tidak membuat industri bekerja secara efisien. Ditambah lagi, dia mengamati hanya ada satu operator dominan, mempunyai posisi keuangan bagus, dan daya tawar kuat di depan vendor penyedia peralatan infrastruktur.
”Industri telekomunikasi seluler sekarang tidak sehat. Perang harga layanan kerap terjadi. Jika ini dibiarkan, bagaimana operator mampu membiayai ongkos pembangunan infrastruktur?” tanyanya.
Rudiantara mengingatkan, di samping isu status kepemilikan frekuensi, kelancaran konsolidasi menuntut pengaturan ulang penomoran layanan seluler. Dia memastikan bahwa isu itu juga masuk pembahasan pemerintah.
Berdasarkan data Kemkominfo, Telkomsel mempunyai total lebar pita frekuensi sebanyak 135 MHz, Indosat Ooredoo 95 MHz, XL Axiata 90 MHz, Hutchison Tri Indonesia 50 MHz, Smartfren Telecom 52 MHz, dan Sampoerna Telekomunikasi Indonesia 15 MHz.
Ketua Dewan Pengawas Asosiasi Penyelenggara Telekomunikasi Indonesia (ATSI) M Danny Buldansyah mengatakan, operator telekomunikasi seluler menuntut adanya peraturan khusus mengenai teknis konsolidasi yang hingga sekarang belum diputuskan. Tujuannya adalah memberikan kepastian bisnis.
Menurut dia, pemegang saham memegang peranan penting memutuskan jadi tidaknya melakukan konsolidasi. Sejauh ini, di antara anggota ATSI sudah saling bertemu membicarakan arahan pemerintah berkonsolidasi, tetapi keputusan tetap diserahkan kepada pemegang saham.