Stok beras pemerintah terancam kurang jika pengadaan terus turun. Selain menaikkan harga pembelian, pemerintah perlu memperbesar saluran untuk mendongkrak penyerapan.
Oleh
M Paschalia Judith/Ferry Santoso
·4 menit baca
Stok beras pemerintah terancam kurang jika pengadaan terus turun. Selain menaikkan harga pembelian, pemerintah perlu memperbesar saluran untuk mendongkrak penyerapan.
JAKARTA, KOMPAS — Realisasi pengadaan beras dalam negeri oleh Perum Bulog terus turun dari 2,96 juta ton tahun 2016, lalu 2,16 juta ton tahun 2017, dan 1,44 juta ton tahun lalu. Selain harga pembelian pemerintah yang makin tertinggal oleh harga pasar, seretnya pengadaan dinilai turut disumbang oleh berkurangnya saluran beras seiring perubahan mekanisme penyaluran bantuan pangan dari raskin/rastra menjadi transfer langsung.
Sampai akhir April 2019, realisasi pengadaan baru 321.123 ton atau 17,8 persen dari target tahun ini. Padahal, panen musim rendeng diandalkan sebagai sumber utama pengadaan tahun ini. Jika pengadaan tidak optimal, cadangan beras pemerintah (CBP) terancam kurang, terutama saat musim paceklik nanti.
”Serapan dalam negeri yang cenderung turun tiga tahun terakhir bisa berdampak pada impor beras yang makin besar,” kata Guru Besar Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor sekaligus Ketua Umum Asosiasi Bank Benih dan Teknologi Tani, Dwi Andreas Santosa, saat dihubungi, Kamis (2/5/2019).
Neraca pengadaan beras oleh Bulog dinilai mengkhawatirkan dan berpotensi melemahkan fungsi stabilisasi harga. Menurut Andreas, salah satu solusinya, Bulog mesti mendapatkan prioritas dalam penyaluran beras pada program bantuan pangan nontunai (BPNT) sehingga Bulog tidak berpotensi merugi dari segi bisnis.
Wakil Kepala Bulog dan Sekretaris Menteri Negara Urusan Pangan 1993-1999 Sapuan Gafar berpendapat, tanpa penyelesaian masalah kanal penyaluran, problem perberasan akan terkunci. Senada dengan Andreas, solusi memperbesar kanal penyaluran bisa ditempuh pemerintah dengan memprioritaskan beras dari Bulog pada program BPNT.
Tanpa penyelesaian masalah kanal penyaluran, problem perberasan akan terkunci.
Solusi itu bisa dilakukan dengan merevisi Peraturan Presiden Nomor 63 Tahun 2017 tentang Penyaluran Bantuan Sosial secara Nontunai. Menurut Sapuan, solusi ini relatif mudah serta tidak mengubah alokasi anggaran dan nomenklaturnya.
Kesejahteraan
Selain di hilir atau di tingkat konsumen, rendahnya penyerapan beras dalam negeri berpotensi melemahkan fungsi stabilisasi harga di tingkat petani atau produsen. Pada akhirnya, daya beli dan kesejahteraan petani tergerus.
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, harga gabah di tingkat petani terus turun empat bulan terakhir, yakni dari Rp 5.353 per kilogram (kg) gabah kering panen (GKP) pada Januari menjadi Rp 4.357 per kg pada April. Penurunan itu sejalan dengan turunnya nilai tukar petani (NTP), salah satu indikator yang bisa dipakai untuk melihat daya beli atau kesejahteraan petani.
Menurut pegiat Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia, Khudori, setelah program raskin/rastra diubah jadi BPNT, integrasi hulu hilir tidak ada lagi. Oleh karena itu, jadi tidak realistis jika tetap meminta Bulog menyerap beras dalam jumlah besar di hulu, sementara di hilir tidak ada saluran.
Deputi Bidang Koordinasi Pangan dan Pertanian Kementerian Koordinator Perekonomian Musdhalifah Machmud mengatakan, peran Bulog saat ini tetap sebagai stabilitator harga, baik di tingkat konsumen maupun petani sebagai produsen. Oleh karena itu, pemerintah tetap mendorong Bulog untuk menyerap gabah/beras dari petani serta memiliki stok yang cukup untuk stabilisasi pasar.
Musdhalifah menambahkan, pemerintah tengah berdiskusi untuk menjadikan beras Bulog sebagai prioritas dalam program BPNT. Hal ini berpotensi dapat memperlebar kanal saluran Bulog.
Sebelumnya, Sekretaris Perusahaan Bulog Arjun Ansol menyatakan, penyerapan berkurang karena penyaluran di hilir berkurang. Namun, Bulog tetap menyerap beras untuk menambah stok, penjualan komersial, atau bantuan sosial rastra.
Inflasi
Hasil survei BPS di 2.431 transaksi penjualan gabah di 30 provinsi selama April 2019 menunjukkan, rata-rata harga GKP di petani turun 5,37 persen dibandingkan bulan sebelumnya menjadi Rp 4.357 per kg. Peneliti Pusat Penelitian Ekonomi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Latif Adam, menyoroti tekanan anjloknya harga yang menimpa petani. Jika dilihat dari rantai pasok beras, penurunan tertinggi terjadi pada petani.
Jika dilihat dari rantai pasok beras, penurunan tertinggi terjadi pada petani.
Penurunan harga gabah dan NTP kontras dengan kenaikan harga kebutuhan. BPS mencatat inflasi sebesar 0,44 persen pada April 2019. Kelompok bahan makanan memberi andil terbesar dengan laju inflasi 1,45 persen dan andil 0,31 persen.
Komoditas yang naik harganya pada April 2019 antara lain bawang merah, bawang putih, cabai merah, telur ayam ras, tomat, dan cabai rawit. Angka inflasi itu dinilai menjadi sinyal kenaikan permintaan menjelang Ramadhan pada Mei 2019.
”Inflasi (Ramadhan-Lebaran) kemungkinan akan bertumpu pada Mei 2019 karena konsumsi Ramadhan dan persiapan Lebaran pada akhir bulan (Mei). Namun, inflasi ini dapat terkendali apabila stok dan distribusinya terkelola dengan baik,” kata Kepala BPS Suhariyanto di Jakarta, Kamis (2/5/2019).
Subkelompok pengeluaran bumbu-bumbuan mengalami inflasi tertinggi, yakni 13,80 persen, terutama bawang merah dan bawang putih. Menurut Suhariyanto, harga bawang merah naik 22,9 persen, sementara bawang putih naik 35 persen.
Tarif angkutan udara yang belum turun juga masih memengaruhi inflasi. Dengan permintaan angkutan udara pada bulan Ramadhan, tarif angkutan udara memang perlu mendapat perhatian.