Sakeco adalah seni tutur dalam tradisi budaya Sumbawa. Isi syair sakeco, antara lain, berupa dakwah, petuah, kehidupan sosial, dan kisah nyata dalam kehidupan masyarakat.
Oleh
Khaerul Anwar/Kelvin Hianusa
·4 menit baca
Sakeco adalah seni tutur dalam tradisi budaya Sumbawa. Isi syair sakeco, antara lain, berupa dakwah, petuah, kehidupan sosial, dan kisah nyata dalam kehidupan masyarakat.
Telapak dan jari tangan kanan Shulthanah Zhafirah Lufhfiyyah atau Fira (13) dan Ahmad Al Qatiri (12) lincah memukul rebana di tangan kiri. Suara dan irama rebana, taktak dung... taktak dung..., bersahutan seakan meluapkan energi mereka saat mengidungkan syair berbahasa Sumbawa.
Fira-Ahmad adalah pelantun sakeco, yakni salah satu bentuk seni yang bersumber dari lawas atau syair khas Samawa (masyarakat Sumbawa). Syair sakeco berupa pantun satu bait atau lebih. Setiap bait terbagi menjadi tiga baris. Sebaris ada delapan suku kata. Isi syair sakeco, antara lain, berupa dakwah, petuah, kehidupan sosial, dan kisah nyata dalam kehidupan masyarakat.
Dalam sakeco, pengidung biasanya menyelipkan rancik, yakni kalimat lucu, untuk mengundang tawa. Sakeco konon diambil dari nama pelantun yang pertama kali melahirkan seni tradisi ini, Sakaria dan Samsudin. Dalam masyarakat Sumbawa, panggilan akrab Sakaria adalah Saka dan Samsudin menjadi Co.
Pasangan pengidung sakeco, Fira-Ahmad, memperlihatkan regenerasi dalam sakeco. Sebelumnya, pengidung sakeco adalah pasangan laki-laki dewasa muda dan laki-laki tua. Perempuan tidak lazim melantunkan sakeco. Fira-Ahmad seakan mendekonstruksi pakem sakeco. Kehadiran pasangan anak-anak ini membuat sakeco menjadi lebih segar dan menumbuhkan basis penggemar.
Menurut Kepala Bidang Kebudayaan Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Sumbawa Barat Sajadah alias Ajat, pembaruan pelantun sakeco berlangsung dalam 10 tahun terakhir. Penyebabnya, pengidung senior tak menularkan kemampuan kepada generasi muda. Dalam upaya melestarikan sakeco, Pemerintah Kabupaten Sumbawa Barat menggelar festival sakeco setiap tahun.
Pesertanya murid pendidikan anak usia dini (PAUD) dan sekolah dasar (SD). Fira belajar sakeco dari ayahnya, Sajadah, dan kakeknya, H Amirudin, yang merupakan seniman sakeco. Anak sulung dari empat bersaudara ini mulai tertarik mempelajari sakeco sejak menjadi siswa PAUD.
Sepulang sekolah, ia rajin berlatih menggunakan piring seng. Ia juga belajar teknik memukul instrumen rebana ode (kecil). Dalam dua bulan, Fira menguasai tekniknya. Siswi kelas I SMP Negeri 1 Taliwang ini memiliki suara sopran yang sangat pas untuk mengidungkan sakeco.
Selain ikut festival, Fira sering diundang tampil di pernikahan, khitanan, dan hajatan lain. Warga Kokar Dalam, Telaga Bertong, Taliwang, ini mendapat uang setidaknya Rp 100.000 setiap kali tampil. Begitu pula dengan Ahmad. Siswa kelas VI SD Negeri Telaga Baru, Taliwang, ini memanfaatkan piring seng, ember plastik, dan meja kelas untuk memahirkan teknik memukul rebana.
Selain tampil di berbagai acara, Ahmad juga berwirausaha dengan sakeco. Teman-teman sekolahnya tidak puas hanya mendengar cerita lisan. ”Ya, sudah, saya tulis delapan bait syair yang saya hafal, teman-teman bayar Rp 1.000,” katanya terkekeh.
Pakem pertunjukan
Sakeco memiliki berbagai ragam cerita. Pada sakeco juga ada pakem pertunjukan, seperti harus melantunkan lawas salam pembuka sekaligus meminta penonton yang memiliki ”ilmu tertentu” untuk tidak mengganggu.
”Umur tu setahun jagung, darah tu setampuk pinang, ado dulang tare baso tunung, balong sanenge nas dunung (Usia kami baru seumur jagung/masih muda, darah kami baru sebesar buah pinang/kami masih miskin pengalaman, dulang kuningan jagung bakar, tolong dengarkan dengan saksama)”.
Selanjutnya, pengidung beranjak pada inti cerita, yakni petuah dan introspeksi untuk manusia. Seperti lawas yang dilantunkan Ahmad. ”Masi tu angan duana, pasa tota papin aji, suru to sabar tawakkal, ola boat ké sembayang lima kali nuntung anaé, dzikir dia kemangaku (Masih teringat di masa lalu dari nasihat para tetua, bersabar dan tawakal, dengan cara mengerjakan shalat lima waktu sehari, dan mengakui kesalahan di hadapan Allah).
Ada pula cerita nyata yang pernah menggegerkan warga Sumbawa Barat. ”Ada tuka dapet jangi, kamaté sodara Anto, kena dalam petang senan, tanggal lima ado bulan Juni 2016, kapokok sanak sawai, basingan Siti Nuraini…. Tamirin ya bacok Anto, karena Anto memperkosa ariknya Tamirin, Siti” (Ada yang bernasib malang, telah meninggal dunia yang bernama Anto, pada malam Senin tanggal 5 Juni 2016. Tamarin membacok Anto, karena Anto memerkosa adik perempuan Tamarin yang bernama Siti).
Sakeco menjadi media penutur terkait kejadian yang mengundang perhatian publik. ”Seniman sakeco ibarat wartawan yang menyampaikan berita. Warga desa lain akan mengundang grup sakeco dari desa tempat peristiwa terjadi,” kata Ari Burhan, warga Taliwang.
Yang pasti, sakeco berkontribusi mempertahankan tradisi lisan. Lawas menjadi media komunikasi dengan pesan moral, spiritual, dan sosial budaya. Semoga sakeco tetap punya penggemar dan penerus serta lestari. (ISMAIL ZAKARIA/AMBROSIUS HARTO)