JAKARTA, KOMPAS -- Sebagian besar negara ASEAN masih menghadapi masalah tengkes (stunting). Data Regional Report on Nutrition Security in ASEAN Volume 2 tahun 2016 menyebutkan, dari 10 negara ASEAN hanya Thailand dan Malaysia yang prevalensi tengkesnya rendah. Sementara data dari Singapura tidak tersedia, tujuh negara ASEAN lainnya memiliki prevalensi tengkes menengah hingga sangat tinggi.
Negara ASEAN dengan prevalensi tengkes sangat tinggi adalah Laos (44 persen), disusul oleh Indonesia (37 persen), Myanmar (35 persen), Kamboja (35 persen), dan Filipina (30 persen) yang terkategori tinggi. Angka untuk Indonesia itu masih menggunakan data Riset Kesehatan Dasar Tahun 2013.
Tengkes adalah kondisi kurang gizi kronis yang terjadi sejak bayi dalam kandungan yang berakibat terganggunya tumbuh kembang anak. Anak balita yang tengkes tak hanya pendek, tetapi juga mengalami defisit kognitif. Saat beranjak dewasa, anak tersebut memiliki risiko yang besar untuk terkena penyakit tidak menular.
“Persoalan stunting sangat kompleks. Banyak jalan menuju stunting,” ujar Kepala Pusat Kajian Gizi dan Kesehatan Universitas Indonesia Ahmad Syafiq dalam acara Talking ASEAN bertema "Overcoming Malnutrition in Children of Southeast Asia" di Habibie Center, Jakarta, Kamis (2/5/2019).
Data Prevelansi Tengkes di Negara-negara ASEAN
No.
NEGARA
Prevalensi Tengkes (%)
Tahun Data
1
Thailand
16
2012
2
Malaysia
18
2015
3
Vietnam
25
2014
4
Brunei Darussalam
25
2012
5
Filipina
30
2013
6
Kamboja
32
2014
7
Myanmar
35
2009/2010
8
Indonesia
37
2013
9
Laos
44
2011/2012
10
Singapura
Data tidak tersedia
Sumber: Regional Report on Nutrition Security in ASEAN Volume 2 tahun 2016
Tengkes bisa diawali oleh rendahnya pemahaman dan kesadaran memberikan ASI eksklusif, rendahnya sanitasi dan higienitas, juga infeksi penyakit yang berulang, seperti diare. Tengkes bisa juga bermula dari kehamilan tidak diinginkan, kelahiran prematur, atau pola asuh yang keliru. Tengkes juga bisa terjadi di semua kelompok masyarakat, miskin atau kaya.
Para kepala negara anggota ASEAN sudah berkomitmen sejak tahun 2017 untuk mengakhiri semua bentuk malnutrisi.
Menurut Syafiq, tidak hanya terkait dengan aspek kesehatan semata, ada faktor lain yang turut memengaruhi terjadinya tengkes. Oleh karena itu, setiap kepala negara tidak boleh menyederhanakan persoalan ini. Perlu kemitraan semua pemangku kepentingan yang bukan sekadar koordinasi dan rapat lintas instansi pemerintah.
Petugas Teknis pada Divisi Kesehatan Sekretariat ASEAN, Alautiah Miftahayati Rahmunanda, mengatakan, para kepala negara anggota ASEAN sudah berkomitmen sejak tahun 2017 untuk mengakhiri semua bentuk malnutrisi. Komitmen ini tertuang dalam sebuah deklarasi yang diadopsi di Manila, 13 November 2017. "Sekarang rencana aksi dari komitmen yang sudah dideklarasikan itu sedang dibahas,” ujarnya.
Deklarasi itu menyebutkan bahwa para kepala negara ASEAN prihatin dengan situasi di mana 17,9 juta balita di ASEAN tengkes, 5,4 juta balita kurus (wasting), dan 4,5 juta balita kegemukan, serta berbagai kekurangan mikronutrien lainnya. Ini tidak hanya menjadi persoalan kesehatan masyarakat, tetapi juga masalah sosial ekonomi setiap bangsa. Itu sebabnya, sektor kesehatan, pendidikan, kesejahteraan sosial, dan pertanian dilibatkan dalam masalah ini.
Melalui deklarasi itu, menteri kesehatan di tiap negara diberi tugas untuk melakukan intervensi spesifik dan sensitif serta memonitor perkembangannya agar sejalan dengan target Komunitas Sosiokultural ASEAN 2025, Deklarasi Roma dan Kerangka Kerja untuk Aksi 2014, juga Tujuan Pembangunan Berkelanjutan 2030.
Alautiah mengatakan, ASEAN menetapkan standar-standar atau panduan-panduan dalam program nutrisi yang bersifat sifatnya minimal. Setiap negara diharapkan bisa berimprovisasi sesuai dengan kondisi masing-masing. Misalnya, panduan bagaimana layanan nutrisi pada fasilitas kesehatan diberikan, seperti apa paket perbaikan nutrisi ibu hamil, atau anak sekolah, juga pelatihan untuk tenaga kesehatan.
Syafiq menambahkan, kebijakan di tingkat ASEAN harus diturunkan ke dalam program yang lebih konkret dan membumi di lapangan.