Hadirnya buku berjudul “Roman Medan, Sebuah Kota Membangun Harapan” menjadi tonggak pengakuan roman Medan sebagai sebuah karya sastra yang layak diperhitungkan. Buku yang ditulis Koko Hendri Lubis itu menghadirkan kembali karya bermutu yang menjadi bagian penting perjalanan sastra di Indonesia.
Oleh
NIKSON SINAGA
·3 menit baca
Hadirnya buku berjudul Roman Medan, Sebuah Kota Membangun Harapan menjadi tonggak pengakuan roman Medan sebagai karya sastra yang layak diperhitungkan. Buku yang ditulis Koko Hendri Lubis itu mengisahkan kembali karya bermutu yang menjadi bagian penting perjalanan sastra di Indonesia.
”Buku ini tonggak pengakuan akademik terhadap roman Medan yang selama 50 tahun lebih,” kata Ichwan Azhari, pengajar Program Studi Pendidikan Sejarah Universitas Negeri Medan, di Medan, Sumatera Utara, Senin (29/4/2019).
Ichwan mengatakan, roman Medan atau komik Medan terbit dan dicetak di Medan. Namun, penulisnya tidak hanya berasal dari Medan, tetapi juga dari daerah lain. Karya sastra ini juga beredar hingga ke Jakarta dan sekitarnya.
Roman Medan pernah mengalami pasang surut. Pernah jaya periode tahun 1930-an, roman Medan lantas surut tahun 1942 seiring masuknya Jepang ke Tanah Air. Selepas kemerdekaan Indonesia, namanya kembali naik daun. Namun, gejolak politik tahun 1965 menenggelamkannya lagi.
Akibatnya, Ichwan mengatakan, banyak orang tidak mengetahui sejarah roman Medan. Roman Medan dianggap hanya komik bacaan penghibur lara. Padahal, roman Medan pernah melahirkan karya-karya besar.
Salah satu yang melegenda adalah roman berjudul Tenggelamnya Kapal Van Der Wijk. Kisah cinta mengharu biru itu merupakan karya pengarang ternama, Hamka yang terbit di Medan tahun 1938. Lewat film, karya itu bahkan tetap hidup di era milenial.
”Ini bagian dari genre roman Medan yang kemudian diakui dunia dan sudah diadaptasi menjadi film,” kata Ichwan.
Selain Hamka, nama-nama besar lain juga lahir dari genre roman Medan, seperti Ali Hasymi, Joesoeb Sou’yb, dan Matu Mona. Meskipun Ali Hasymi merupakan ulama dan Gubernur Aceh 1957-1964, ia tetap menjadi penulis roman yang produktif. Joesoeb Sou’yb merupakan sastrawan yang melahirkan genre sastra perlawanan dari Medan. Penulis roman Medan lainnya banyak yang berasal dari wartawan.
Hadir dalam kesempatan yang sama, penulis sastra Seno Gumira Ajidarma mengatakan, roman Medan adalah representasi kehidupan masa lampau masyarakat. Menurut dia, roman Medan juga merupakan salah satu tonggak perjalanan sastra di Indonesia.
Koko Hendri Lubis mengatakan, roman Medan adalah karya sastra populer di luar kutub Balai Pustaka. Pada masanya, fanatisme pembacanya bisa dibandingkan dengan pembaca buku sastra terbitan Balai Pustaka. Hendri mengatakan, kajian tentang roman Medan hingga kini sangat langka. Padahal, roman Medan menyimpan harta karun sastra bermutu.
”Roman Medan juga memberikan gambaran tentang kehidupan di Indonesia tentang masa silam,” ujarnya.
Oleh karena itu, Hendri sangat berharap bukunya bisa itu mengulas kontribusi roman bagi kebudayaan, keunikan roman Medan dalam konteks lokal, dan cerita pasang surut penerbitan roman.
Roman Medan sudah memulainya. Masih banyak karya sastra dari sejumlah daerah yang mati suri dan menunggu bangkit kembali.