Identifikasi Suap Hakim, MA Didorong Usut Putusan Tidak Wajar
Mahkamah Agung didorong serius menindaklanjuti banyaknya aduan tentang putusan tidak wajar untuk mengidentifikasi praktik suap kepada hakim. Tindakan tegas kepada hakim yang terlibat suap juga perlu ditegakkan sebagai upaya preventif kasus serupa.
Oleh
Fajar Ramadhan
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Mahkamah Agung didorong serius menindaklanjuti banyaknya aduan tentang putusan tidak wajar untuk mengidentifikasi praktik suap kepada hakim. Selain itu, tindakan tegas kepada hakim yang terlibat kasus suap perlu ditegakkan sebagai upaya preventif kasus serupa.
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kembali menangkap seorang hakim Pengadilan Negeri (PN) Balikpapan, Kalimantan Timur, Kyt, pada Jumat (3/5/2019). Kyt ditangkap karena diduga menerima suap terkait pidana penipuan. Selain itu, KPK juga menangkap empat terduga lain, yakni 2 pengacara, 1 panitera muda, dan 1 swasta (Kompas, 4/5/2019).
Pakar hukum pidana Universitas Parahyangan, Agustinus Pohan, mendorong Mahkamah Agung (MA) untuk terus mengkaji dan menindaklanjuti putusan-putusan hakim yang dianggap tidak wajar. Sebab, hal tersebut bisa mengindikasikan adanya praktik suap kepada hakim.
Putusan tidak wajar tersebut hendaknya dikaji secara obyektif dengan melibatkan elemen-elemen di luar MA, misalnya perguruan tinggi. ”Semua pengaduan mengenai keputusan tidak wajar segera dikaji, jangan dibiarkan. Kalau kita lihat, pengaduan itu banyak sekali,” ujarnya saat dihubungi dari Jakarta, Sabtu (4/5/2019).
Agustinus menilai, penangkapan hakim PN Balikpapan, Kyt, menunjukkan bahwa perilaku menyimpang penegak hukum masih belum berubah. Bahkan, ia menganggap perilaku menyimpang tersebut masih cukup masif.
”Mereka masih menganggap bahwa penegak hukum yang tertangkap adalah orang yang sedang tidak beruntung saja,” katanya.
Tercatat selama periode 2014-2018, KPK telah menangani setidaknya 24 hakim yang terlibat dalam kasus suap dan korupsi. Menurut dia, persentase tersebut dinilai masih kecil. Kekuatan KPK, kepolisian, dan kejaksaan perlu ditambah agar semakin banyak lagi kasus suap yang melibatkan hakim bisa diungkap.
”Ini bukan masalah sanksi yang kurang berat. Selama persentase penangkapannya kecil, akan terus seperti ini,” ucapnya.
Putusan tidak wajar tersebut hendaknya dikaji secara obyektif dengan melibatkan elemen-elemen di luar MA, misalnya perguruan tinggi.
Agustinus menduga, perilaku menyimpang hakim bukan terjadi karena kesalahan proses rekrutmen, melainkan karena lingkungan kerja hakim yang kental dengan tindakan penyuapan. Melihat hal tersebut, mereka bisa menjadi permisif atau bahkan terlibat langsung.
”Perilaku ini menurut saya bukan soal rekrutmen, tetapi lebih pada lingkungan kerja yang mencemari hakim-hakim kita,” katanya.
Belum tegas
Pakar hukum pidana Universitas Trisakti, Yenti Garnasih, menganggap, banyak dugaan kasus suap yang melibatkan hakim belum ditangani secara tegas. Padahal, jika hakim sudah terlibat kasus suap, hal itu memperlihatkan bahwa penegakan hukum benar-benar runtuh.
”Hakim lain kemudian menganggap bahwa tindakan tersebut bukan suatu hal yang memalukan,” katanya.
Yenti mendorong MA segera melakukan evaluasi. Sebab, ia menilai, perilaku hakim yang mudah disuap juga erat kaitannya dengan asas keadilan dan keterbukaan di kalangan internal MA. Ada beberapa hakim yang disebut-sebut dalam sejumlah kasus suap justru mendapatkan promosi jabatan.
”Hal itu sangat mengganggu psikologi hakim lainnya dan akhirnya berdampak pada profesionalitas dan integritas,” ujarnya.