Pada 4 April 2018, pemerintah meluncurkan inisiatif Making Indonesia 4.0, peta jalan revolusi industri generasi keempat. Otomotif jadi satu prioritas. Prioritas ini menggambarkan posisi penting industri ini.
Oleh
Cyprianus Anto Saptowalyono
·3 menit baca
Setahun lalu, tepatnya 4 April 2018, pemerintah meluncurkan inisiatif Making Indonesia 4.0, peta jalan revolusi industri generasi keempat. Otomotif jadi satu dari lima sektor prioritas dalam implementasinya.
Penetapan otomotif sebagai sektor prioritas menggambarkan posisi penting industri ini. Bersama sektor lain, otomotif diharapkan mampu membawa Indonesia ke posisi 10 besar ekonomi dunia tahun 2030 mendatang, era yang makin diwarnai kemajuan teknologi.
Saat membuka Telkomsel Indonesia International Motor Show (IIMS) 2019 di Jakarta, Kamis (25/4/2019) lalu, Menteri Perindustrian Airlangga Hartarto, mengungkit soal konvergensi teknologi yang memungkinkan penggabungan industri otomotif dan telekomunikasi. Ke depan, highway bukan hanya soal jalan, melainkan network atau jaringan.
Jaringan digital memungkinkan kendaraan otonom dapat saling berkomunikasi. Kendaraan semiotonom pun akan menggunakan jaringan telekomunikasi sebagai basis informasi, terutama terkait situasi kemacetan dan kondisi jalan. Alhasil, kecepatan dan keandalan jaringan telekomunikasi jadi kebutuhan, terlebih bagi kendaraan yang melaju kencang.
Terkait teknologi dan energi, pemerintah menargetkan 20 persen dari total produksi kendaraan baru di Indonesia sudah bertenaga listrik pada tahun 2025. Target ini diharapkan menopang tujuan menekan emisi gas rumah kaca sebesar 29 persen tahun 2030 sekaligus menjaga kemandirian energi nasional.
Sesuai peta jalan itu, pemerintah juga menyiapkan program pengembangan kendaraan emisi karbon rendah atau low carbon emission vehicle (LCEV). Program ini terdiri dari tiga subprogram, yakni kendaran hemat energi dengan harga terjangkau, kendaraan listrik, dan kendaraan dengan bahan bakar fleksibel/alternatif.
Akan tetapi, ada sejumlah tantangan dalam usaha mengenalkan kendaraan ramah lingkungan. Tantangan itu antara lain terkait penerimaan masyarakat terhadap kendaraan listrik, kenyamanan berkendara, infrastruktur pengisian energi listrik, rantai pasok dalam negeri, serta adopsi teknologi dan regulasi.
Selain itu, butuh dukungan kebijakan fiskal maupun nonfiskal agar kendaraan listrik bisa dimanfaatkan tanpa harus membebani masyrakat dengan biaya tambahan tinggi.
Ada sejumlah tantangan dalam usaha mengenalkan kendaraan ramah lingkungan.
Selepas tahun 2025, targetnya dinaikkan jadi 30 persen tahun 2030. Sebab, energi baru terbarukan Indonesia makin berkembang, seperti minyak sawit yang bisa diolah menjadi green diesel 100 persen hingga avtur. Gasifikasi batubara juga bisa jadi alterlatif.
Target dan peluang itu dinilai realistis karena industri otomotif dinilai telah memiliki ekosistem yang menyerap banyak tenaga kerja. Pilihan itu juga diharapkan tidak menimbulkan ketergantungan baru terhadap energi fosil.
Teknologi diharapkan dapat membantu Indonesia menyikapi persoalan energi. Selain sawit, Indonesia berpeluang mengembangkan energi dari ganggang atau ala menjadi bahan bakar.
Sejumlah pihak optimistis Indonesia mampu mengembangkan dan mengaplikasikan teknologi bahan bakar hijau untuk kendaraan. Selain mengurangi impor bahan bakar minyak (BBM) fosil, penggunaan bahan bakar terbarukan juga dapat menjaga keberlanjutan industri kelapa sawit. Apalagi industri sawit menjadi sumber penghidupan bagi belasan juta orang.
Upaya mengolah batubara melalui gasifikasi juga akan meningkatkan nilai tambah. Apalagi semua jenis batubara, baik berkalori tinggi, sedang, maupun rendah, bisa diproses melalui gasifikasi. Di satu sisi, hilirisasi dapat menstabilkan harga batubara, sementara di sisi lain bisa mensubstitusi impor bahan baku petrokimia.
Pada akhirnya, pengembangan otomotif diharapkan menggerakkan sektor terkait lain. Sebab, kita berada di era baru, era konvergensi teknologi.