Menyulam Tradisi Tenun Sumbawa
Masyarakat Pulau Sumbawa di Nusa Tenggara Barat terkenal dengan keahliannya menenun kain tradisional. Meski produksi kain tenun sekadar usaha sampingan di sela bertani, kerajinan yang diwariskan turun-temurun itu ternyata masih lestari.
Sentra tenun tersebar di seluruh kabupaten/kota di Pulau Sumbawa, yakni Sumbawa Barat, Sumbawa, Dompu, Bima, dan Kota Bima. Pusat kerajinan sulam kain itu biasanya berada di perkampungan.
Salah satu komunitas penenun berada di Dusun Sameri, Desa Poto, Kecamatan Moyo Hilir, Kabupaten Sumbawa. Sameri yang terletak sekitar 10 kilometer arah timur atau setidaknya 20 menit perjalanan darat menggunakan kendaraan dari Sumbawa Besar, ibu kota Kabupaten Sumbawa, dikenal sebagai kampung perajin tenun tradisional Sumbawa.
Sentra tenun ini tidak sulit dijangkau karena akses dari ibu kota mulus. Petunjuk bahwa pengunjung sudah memasuki dusun tertulis di gerbang ”Selamat Datang di Kampung Tenun Sameri”.
Begitu masuk di dusun di kaki perbukitan hijau itu, pengunjung akan disambut deretan rumah panggung di kiri dan kanan jalan. Di dalam rumah panggung itulah aktivitas menenun atau yang dalam bahasa Sumbawa disebut nesek dilakukan kaum perempuan di sana.
Selain di rumah-rumah panggung, para perajin sejak tahun lalu juga menenun di atas balai-balai kecil dari kayu yang dibangun di halaman rumah. Balai itu merupakan bantuan pemerintah pusat saat berlangsung acara Sail Moyo Tambora 2018, acara tahunan untuk memperkenalkan Pulau Moyo dan Gunung Tambora.
Pada Senin (29/4/2019) sekitar pukul 15.00 Wita, Sri Nurnaningsih (39), salah satu perajin di dusun itu, terlihat tengah nesek. ”Ini baru selesai sekitar seperempat. Saya sudah mengerjakannya sekitar satu minggu,” kata perempuan berkerudung itu dengan nada bicara yang tegas.
Sore itu, Sri yang sudah bisa menenun sejak SMP terlihat nesek di balai depan rumahnya. Ia sedang mengerjakan kain tenun dengan motif kemang kecubung, satu dari sejumlah motif yang biasa dibuat penenun di dusun itu. Selain kemang kecubung, ada juga motif kemang pio, kemang gili liuk, bintang kesawir, dan kemang satange.
Menurut Sri, motif-motif itu terinspirasi dari alam sekaligus memperlihatkan kedekatan masyarakat Sumbawa dengan alam. Alat nesek yang digunakan Sri tidak jauh berbeda dengan alat tenun bukan mesin pada kerajinan tenun tradisional kebanyakan.
Di Sumbawa, alat tersebut terdiri dari lekat atau penyangga yang berada di belakang penenun. Lekat sekaligus berfungsi mengencangkan rentangan benang atau lungsin yang akan ditenun. Bagian lain adalah apit yang dipangku perajin yang berfungsi menggulung kain yang telah ditenun.
Selain itu, ada juga tolang gurin untuk memisahkan lapisan benang yang ditenun, belida untuk merapatkan benang pakan dan benang motif, serta kelok untuk memasukkan benang pakan dan benang motif ke lungsin.
Pembuatannya juga hampir sama. Sri secara pelan dan hati-hati memasukkan benang pakan ke dalam lungsin. Setelah itu, dia menarik belida untuk merapatkannya. Hal serupa juga dilakukan ketika dia memasukkan benang emas untuk motif yang menjadi ciri khas kain Sumbawa. Selain benang emas, perajin juga menggunakan benang berwarna lain, seperti merah dan hijau, untuk kain mereka.
”Proses tenun memang tidak bisa cepat. Satu lembar kain paling cepat selesai dalam satu bulan. Bahkan, bisa lebih lama, apalagi kalau sedang musim panen atau tanam padi. Selain itu, dalam sehari, kami paling lama menenun empat sampai lima jam,” tutur Sri.
Turun-temurun
Jaidah (52), Ketua Kelompok Tenun Kemang Langit Jaidah di Semeri, menuturkan, keahlian menenun di dusun itu diwariskan secara turun-temurun. Anak-anak gadis belajar langsung dari ibu mereka. Jaidah, misalnya, belajar menenun sejak tahun 1980-an atau ketika masih berumur belasan tahun.
Menurut Jaidah, di Pulau Sumbawa, seorang perempuan dituntut bisa menenun. Maka, ada ungkapan yang berbunyi, ”Na sepan tau sawai lamin no to nesek.” Artinya, bukan perempuan Sumbawa kalau tidak bisa menenun.
Meski tidak tertulis, ungkapan itu menjadi kesepakatan bersama. Maka, seperti di Sameri, sejak kecil perempuan Sumbawa belajar menenun. ”Di sini anak-anak mulai dari sekolah dasar telah ikut menenun. Biasanya, mereka mendapat honor dari setiap kain yang dibuat,” kata Jaidah.
Para perempuan Sumbawa diajari menenun sejak kecil dengan tujuan melestarikan kerajinan tersebut. Apalagi, minat terhadap kain tenun tradisional tetap bagus. Pembeli kain tersebut biasanya datang langsung ke dusun tersebut atau memesan ke agen yang berada di Sumbawa.
”Sekarang kain tenun sudah dipesan semua kalangan. Kalau dulu hanya kalangan terbatas, yakni para bangsawan,” kata Jaidah. Jaidah yang membawahkan 64 penenun setiap bulan memproduksi 64 kain tenun. Pembuatan satu tenun tidak bisa cepat. Satu penenun membutuhkan waktu sekitar sebulan untuk setiap helai kain karena disela dengan aktivitas bertani.
Setiap satu pasang atau setel kain untuk bahan sarung atau pakaian ditambah selendang dijual Rp 1,5 juta. Harga jual itu sebanding dengan lamanya pembuatan dan tingkat kerumitan motif.
Keuntungan dari per lembar kain, diakui Jaidah, tidak banyak. Modal bahan satu setel ditambah ongkos untuk satu perajin Rp 1,2 juta. Meski demikian, Jaidah dan para perajin bertekad terus menenun demi mempertahankan tradisi yang mereka miliki. (ZAK/KEL/RUL/BRO)