Pengajar Laboratorium Perumahan dan Permukiman Institut Teknologi Bandung, M Jehansyah Siregar, menyatakan, normalisasi kali-kali di DKI Jakarta tetap dibutuhkan meski hal itu berkonsekuensi pada pemindahan warga di sempadan kali.
Oleh
J Galuh Bimantara
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pengajar Laboratorium Perumahan dan Permukiman Institut Teknologi Bandung, M Jehansyah Siregar, menyatakan, normalisasi kali-kali di DKI Jakarta tetap dibutuhkan meski hal itu berkonsekuensi pada pemindahan warga di sempadan kali.
Namun, ia merekomendasikan agar pemerintah pusat memegang tanggung jawab pengembangan permukiman baru bagi warga yang direlokasi.
Selama ini, cara kerja normalisasi ialah pemerintah pusat melalui Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat bertanggung jawab pada normalisasi kali, termasuk pembangunan dinding turap pada sempadan, sedangkan Pemerintah Provinsi DKI diserahi tugas membebaskan lahan untuk pelebaran kali, termasuk jika butuh relokasi warga.
Sementara itu, Gubernur DKI Anies Baswedan menjanjikan tak ada penggusuran di sempadan kali selama periode kepemimpinannya. Ia mengutamakan naturalisasi sungai.
”Naturalisasi itu mengembalikan fungsi sungai ke fungsi yang lebih alami, bisa dilakukan, tapi bukan pada sungai-sungai besar yang memang harus dilalui debit air besar,” ujar Jehansyah dalam bincang para ahli ”Bagaimana Mengatasi Banjir di Jakarta”, Jumat (3/5/2019), di Jakarta. Acara ini diselenggarakan oleh Sabang Merauke Circle.
Kali Ciliwung, menurut Jehansyah, mutlak butuh normalisasi. Berdasarkan catatan Kompas pada 12 September 2017, bidang Kali Ciliwung perlu dilebarkan jadi 40-50 meter dari kondisi terkini 10-25 meter. Dengan kondisi lebar ini, Ciliwung hanya bisa menampung air maksimal 220 meter kubik per detik. Padahal, debit air normal di kali itu mencapai 570 meter kubik per detik.
Namun, kata mantan Tenaga Ahli Menteri PUPR Bidang Perumahan dan Permukiman tersebut, pemerintah pusat tidak perlu menunggu kepastian konsep naturalisasi dari Pemprov DKI untuk melanjutkan normalisasi Kali Ciliwung. Dengan kondisi Anies berjanji tidak akan menggusur rumah warga, pekerjaan relokasi dan pemukiman kembali (resettlement) warga ke lokasi lain bisa diambil oleh Kementerian PUPR.
”Kementerian PUPR punya Ditjen (Direktorat Jenderal) Cipta Karya dan Ditjen Penyediaan Perumahan. Mana proyek mereka untuk menangani permukiman kumuh skala besar,” ujar Jehansyah.
Selama ini, hanya Ditjen Sumber Daya Air yang diketahui mengurus normalisasi sungai di Jakarta, termasuk lewat peran Balai Besar Wilayah Sungai Ciliwung Cisadane.
Sementara itu, Jehansyah menyarankan Pemprov DKI berperan sebatas identifikasi warga yang perlu dimukimkan kembali di lokasi lain. Pemerintah bisa mencarikan lahan permukiman baru di area Jabodetabek, tidak perlu berkutat hanya di Jakarta. Istilahnya, transmigrasi perkotaan.
Pendiri Sabang Merauke Circle, Syahganda Nainggolan, menanggapi, dengan demikian, pemerintah pusat dan Pemprov DKI tidak perlu saling menyalahkan setiap terjadi banjir di Jakarta. Pemerintah mestinya juga mengurus masalah pemukiman kembali sebagai konsekuensi normalisasi sungai dan waduk.
Audit resapan air
Jehansyah menambahkan, akar masalah lain dari banjir Jakarta adalah berkurangnya luas lahan basah, terutama rawa, sebagai tempat peresapan air. Ia mencontohkan, banjir yang terus-menerus melanda kawasan Kepala Gading, Jakarta Utara, merupakan dampak wajar karena area itu sebelumnya rawa untuk menampung air.
Ia memperkirakan, sekitar 30 persen luas Jakarta dulunya merupakan rawa, berlokasi di Jakarta Utara dan Jakarta Barat. Saat ini, kemungkinan hanya tersisa 5 persen.
Dengan kondisi tata ruang yang telanjur gagal seperti sekarang, Jehansyah meminta Pemprov DKI mengaudit koefisien dasar bangunan (KDB) di kompleks-kompleks perumahan guna mengetahui cukup atau tidaknya lahan yang tersedia untuk resapan air. Jika diketahui melanggar ketentuan KDB, solusi teknisnya bisa dicari kemudian, misalnya dengan pembangunan waduk di perumahan.