Potret Tenaga Kerja Milenial Indonesia
Setiap masa ada generasinya, setiap generasi ada masanya. Inilah era generasi milenial. Tahun depan, saat dimulainya bonus demografi pada 2020, generasi milenial berada pada usia 20-40 tahun, usia produktif untuk berkarya di berbagai bidang pekerjaan.
Setiap masa ada generasinya, setiap generasi ada masanya.
Inilah era generasi milenial. Tahun depan, saat dimulainya bonus demografi pada 2020, generasi milenial berada pada usia 20-40 tahun, usia yang produktif untuk berkarya di berbagai bidang pekerjaan.
Generasi milenial, penduduk yang lahir tahun 1980-2000, dikenal juga sebagai generasi Y. Berdasarkan data Survei Sosial Ekonomi Nasional Badan Pusat Statistik, jumlah generasi milenial di Indonesia pada 2017 mencapai sekitar 88 juta jiwa atau 33,75 persen dari total penduduk Indonesia. Proporsi tersebut lebih besar dari proporsi generasi sebelumnya, seperti generasi X (25,74 persen), generasi baby boomers (11,27 persen), dan generasi Z (29,23 persen).
Melihat proporsi ini, terlihat jumlah penduduk milenial lebih banyak dibandingkan generasi lain. Generasi ini bertransformasi menjadi tulang punggung perkembangan bangsa di masa mendatang. Dalam bidang politik kenegaraan, misalnya, setidaknya 11,9 persen kalangan milenial mencalonkan diri sebagai anggota legislatif (caleg) pada Pemilu 2019. Demikian juga dalam bidang ketenagakerjaan. Pada 2017, sekitar dua pertiga dari populasi generasi milenial masuk ke dalam angkatan kerja nasional.
Melihat komposisinya, setidaknya tiga dari sepuluh penduduk Indonesia termasuk generasi milenial. Empat provinsi dengan jumlah generasi Y paling banyak adalah Jawa Barat (16,5 juta jiwa), Jawa Timur (12,3 juta jiwa), Jawa Tengah (10,6 juta jiwa), dan Sumatera Utara (4,8 juta jiwa).
Dari jumlah tersebut, lebih dari separuhnya tinggal di perkotaan yang memiliki akses luas terhadap fasilitas pendidikan, kesehatan, teknologi informasi, dan internet. Berangkat dari ekosistem tersebut, generasi ini dikenal memiliki keterampilan unggul dalam bidang teknologi digital.
Kualitas generasi
Tidak berlebihan jika harapan perbaikan kehidupan bangsa disandarkan pada generasi ini. Jika dilihat dari kualitas sumber daya manusianya, generasi milenial jauh lebih baik dibandingkan generasi X (lahir 1960-1980) dan generasi baby boomers (lahir 1946-1960).
Publikasi Profil Generasi Milenial Indonesia 2018 juga mencatat, rata-rata lama sekolah generasi milenial mencapai 10,04 tahun, jauh meninggalkan dua generasi sebelumnya. Rata-rata lama sekolah generasi X adalah 8,07 tahun, sedangkan generasi baby boomers 4,95 tahun.
Demikian juga dengan angka melek huruf sebesar 99,39 persen. Ini menunjukkan tingginya modal pendidikan yang dimiliki generasi milenial, dengan kemampuan membaca dan menulis nyaris mendekati 100 persen, dibandingkan generasi-generasi sebelumnya.
Baca juga: Generasi Milenial, Antara Bonus dan Beban Demografi
Tak hanya itu, pendidikan tertinggi mereka didominasi SMA/sederajat dan diploma/universitas. Hal tersebut adalah gambaran betapa berpotensinya generasi Y untuk terus berperan dalam membawa bangsa Indonesia ke masa depan yang jauh lebih baik.
Dari sisi ketenagakerjaan, tingkat partisipasi angkatan kerja generasi milenial tahun 2017 tercatat sebesar 67,24 persen. Artinya, dua pertiga dari populasi penduduk usia muda masuk dalam angkatan kerja.
Sementara tingkat pengangguran terbuka mencapai 9,84 persen atau satu dari sepuluh generasi milenial menjadi penganggur. Kabar baiknya, angka pengangguran tersebut menurun sejak tahun 2015.
Kontribusi anak muda ke dalam pasar tenaga kerja dipastikan membawa perubahan dari sisi ekonomi, politik, sosial, dan budaya seiring Revolusi Industri 4.0. Generasi tersebut adalah angkatan kerja yang produktif dan kompetitif, berguna untuk menghadapi disrupsi besar-besaran pada masa ini.
Membaiknya angka partisipasi angkatan kerja yang diiringi penurunan angka pengangguran terbuka generasi milenial mencerminkan dua hal. Pertama, semakin bertambahnya lapangan kerja dan diversifikasi jenis lapangan kerja. Kedua, semakin meningkatnya kesesuaian antara keterampilan yang diajarkan di sekolah dan kebutuhan industri.
Profesi
Orientasi sektor formal juga terlihat dari karakter generasi milenial di sektor tenaga kerja. Sektor ekonomi ketenagakerjaan setidaknya terbagi menjadi dua, yaitu sektor formal dan informal. Keduanya memiliki karakteristik yang berbeda, yaitu pekerja sektor informal kurang mendapat perlindungan kerja dan penghasilan tidak menetap.
Dengan mempertimbangkan dua faktor tersebut, generasi milenial memiliki kecenderungan lebih besar untuk memilih sektor formal dalam bekerja. Pada 2017, generasi milenial yang bekerja di sektor formal mencapai 54,79 persen.
Dari status pekerjaan utama, ternyata 52,70 persen generasi milenial lebih memilih menjadi karyawan/pegawai. Pilihan tersebut tak lepas dari latarbelakang pendidikan dan bidang keahlian yang lebih banyak terserap di perusahaan dan industri. Pekerjaan sebagai karyawan menggambarkan kondisi stabil secara pendapatan dan lingkungan kerja.
Profesi yang juga populer bagi generasi milenial adalah menjadi wirausaha. Tercatat 24,33 persen populasi milenial menekuni dunia bisnis. Namun, hal serupa tidak terjadi pada sektor pertanian, kehutanan, dan perikanan.
Sepanjang 2015 hingga 2017 terjadi penurunan minat generasi milenial untuk terjun pada sektor ekonomi primer tersebut, sektor yang memanfaatkan sumber daya alam secara langsung.
Dalam kurun waktu tiga tahun tercatat terjadi penurunan minat milenial untuk menggeluti usaha bidang pertanian, kehutanan, dan perikanan sebesar 3,83 persen. Hal tersebut sejalan dengan pola pikir generasi milenial yang lebih tertarik pada bidang-bidang pengembangan teknologi dan media sosial.
Banyaknya pengalaman dan lama kerja menjadi salah satu penentu besarnya upah yang diterima pekerja. Selain itu, tingginya pendidikan yang telah ditempuh seseorang dapat menentukan pendapatan yang diterimanya. Rata-rata pendapatan yang diterima generasi milenial sebesar Rp 2,33 juta per bulan.
Selisih pendapatan yang diterima setiap generasi semakin tinggi menurut jenjang pendidikan yang berhasil ditamatkan. Selisih pendapatan yang diterima milenial dengan pendapatan generasi pendahulunya mulai tampak jelas pada latar belakang pendidikan diploma dan sarjana. Penyebabnya adalah generasi pendahulu milenial telah memiliki pengalaman kerja lebih lama dan posisi atau jabatan kerja yang lebih tinggi.
Generasi milenial yang menempuh pendidikan akhir di SD dan SMP mendapatkan upah Rp 1,51 juta dan Rp 1,70 juta per bulan. Sementara upah generasi baby boomers dengan latar belakang pendidikan yang sama hanya sebesar Rp 1,18 juta dan Rp 1,68 juta per bulan.
Tantangan
Meski dekat dengan teknologi dan internet, nyatanya masih banyak milenial yang belum memanfaatkannya untuk meningkatkan kesejahteraan hidup. Hanya 5,08 persen milenial yang menggunakan internet untuk berwirausaha dengan menjual barang atau jasa. Sementara lebih banyak dari mereka (34,36 persen) yang menggunakan internet untuk kegiatan lain.
Sebaliknya, dekat dengan teknologi menjadikan milenial sebagai target pasar bagi penjualan berbasis daring. Apalagi, pada 2020, Indonesia menjadi pasar digital terbesar di Asia Tenggara dengan jumlah pengguna internet sebanyak 140 juta orang.
Perusahaan e-dagang Shopee menyebutkan bahwa konsumen terbesarnya saat ini adalah penduduk berusia 25-35 tahun. Sementara survei perusahaan riset pasar Ipsos Indonesia yang dilakukan kepada 400 responden, yang 64 persennya adalah milenial, menyebutkan bahwa 73 persen responden berbelanja daring sebulan sekali. Mayoritas responden adalah pekerja dengan pendapatan di atas Rp 3,3 juta per bulan.
Peran generasi milenial di dunia kerja memang beragam, seperti terlihat dari pilihan pekerjaan hingga upah dan besar pengeluaran tiap bulan. Titik dasar karakter generasi ini adalah lekat dengan keterampilan teknologi dan digital.
Jika pemerintah bisa mengelola kemahiran mereka, potensi bangsa terbuka lebar untuk meraup keuntungan bonus demografi dari generasi ini. Terlebih untuk menyambut persaingan di era Industri 4.0, era yang menjadi tantangan bagi generasi milenial saat ini. (DEBORA LAKSMI INDRASWARI/LITBANG KOMPAS)