Segera Buka Ruang Dialog
Dialog di antara elite yang berkontestasi pada Pemilu 2019 mendesak dilakukan untuk meredakan polarisasi. Elite perlu memberikan keteladanan kepada masyarakat.
SINGAPURA, KOMPAS - Para elite politik yang berseberangan di Pemilu 2019 mesti segera membuka diri untuk berdialog guna meredakan polarisasi di masyarakat. Pembelahan politik itu tak hanya merugikan pihak-pihak yang berkontestasi, tetapi juga masyarakat yang tidak ikut serta dalam persaingan politik praktis.
Ruang dialog diyakini bisa meluruhkan ketegangan akibat polarisasi yang terbangun selama Pemilu 2019. Komunikasi dapat mengatasi segalanya, termasuk perbedaan pendapat dan pemahaman.
”Kalau pertemuan berlangsung terus-menerus, pasti akan ketemu (jalan keluar) dari perbedaan yang sangat fundamental,” kata Presiden Keenam RI Susilo Bambang Yudhoyono, Jumat (3/5/2019), di salah satu ruangan di Rumah Sakit Universitas Nasional, Singapura.
Pernyataan itu disampaikan Yudhoyono kepada sejumlah tokoh yang menjenguk mantan ibu negara, Ny Ani Yudhoyono, yang tengah menjalani pengobatan di rumah sakit tersebut.
Sejumlah tokoh yang hadir dalam acara itu antara lain mantan ibu negara, Ny Sinta Nuriyah Wahid; mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud MD; mantan Menteri Badan Usaha Milik Negara Dahlan Iskan; dan Koordinator Jaringan Gusdurian Alissa Wahid.
Pada 1 Mei lalu, para tokoh yang tergabung dalam Gerakan Suluh Kebangsaan ini juga menemui Presiden Ketiga RI Bacharuddin Jusuf Habibie untuk membahas jalan keluar atas polarisasi di elite dan masyarakat akibat Pemilu 2019.
Indeks Negara Rentan
Polarisasi yang kini terjadi di Indonesia, antara lain, telah tecermin dalam Indeks Negara Rentan (INR) tahun 2019 yang dirilis The Fund for Peace, 10 April lalu.
Menurut indeks tersebut, Indonesia punya daya tahan yang makin baik dalam menghadapi berbagai tekanan sosial, politik, dan ekonomi yang dapat mendestabilisasi negara. Ini terlihat dari INR Indonesia tahun 2019, yang ada di angka 70,4, atau lebih kecil ketimbang INR 2018 yang ada di angka 72,3. Semakin kecil angka yang didapat sebuah negara, berarti semakin tahan menghadapi tekanan.
Namun, dari 12 indikator yang digunakan dalam menyusun INR, ada tiga indikator yang angkanya naik untuk Indonesia, yang berarti semakin tidak baik jika dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Tiga indikator itu adalah fragmentasi elite (dari 7,0 ke 7,1), ketidakpuasan di masyarakat (7,2 ke 7,3), dan tekanan demografi (dari 6,7 ke 7,3).
Sembilan faktor lainnya disebut membaik. Faktor itu antara lain legitimasi negara, pelayanan publik, hak asasi manusia dan penegakan hukum, serta aparat keamanan.
Guru Besar Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Jakarta, Azyumardi Azra mengatakan, tiga kategori yang memburuk untuk Indonesia itu sebenarnya saling terkait. Jika fragmentasi elite dan ketidakpuasan di masyarakat dapat diatasi, INR Indonesia akan semakin baik.
Peluang
Yudhoyono mengatakan, pertemuan di antara tokoh yang memiliki pilihan berseberangan pada Pemilu 2019 diperlukan untuk membuka kebuntuan akibat perbedaan pandangan politik.
”Kita masih memiliki ruang, peluang, dan sumber daya politik sehingga semua hal itu jangan disia-siakan. Kita punya nilai-nilai dan semangat musyawarah yang kalau terus dijalankan, insya Allah kita bisa lalui ini,” ujar Yudhoyono. Dalam pertemuan selama sekitar satu jam itu, Yudhoyono didampingi putranya, Edhie Baskoro Yudhoyono, dan Ketua Dewan Kehormatan Partai Demokrat Amir Syamsuddin.
Mahfud, selaku Ketua Gerakan Suluh Kebangsaan, mendukung penuh pernyataan Yudhoyono. Ia optimistis dialog yang beberapa kali dilakukan akan menemukan jalan tengah yang menguntungkan bangsa.
Secara terpisah, Azyumardi mengatakan, upaya mencairkan sekat-sekat antarkoalisi politik pascakontestasi pemilu mesti jadi kesadaran bersama.
Selain diupayakan secara merata oleh para elite politik, pertemuan lintas kelompok juga perlu didorong oleh kelompok masyarakat sipil dan ormas. Gabungan organisasi keagamaan, seperti Nahdlatul Ulama, Muhammadiyah, Konferensi Waligereja Indonesia, Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia, dan Perwakilan Umat Buddha Indonesia, menurut Azyumardi, dapat menginisiasi pertemuan dengan kedua pasangan calon dan elite koalisi pendukungnya yang berkontestasi pada Pilpres 2019.
Di tengah polarisasi yang terjadi, sebenarnya ada banyak keteladanan terkait dialog di tingkat akar rumput. Minggu (28/4) lalu, warga Kelurahan Kapuk, Jakarta Barat, menggelar syukuran dengan memotong tumpeng dan doa bersama untuk keselamatan negeri. Ratusan sukarelawan pendukung Joko Widodo-Ma’ruf Amin merayakannya bersama warga pendukung Prabowo Subianto-Sandiaga Uno. Bagi mereka, beda pandangan politik adalah hal biasa.
Azyumardi mengatakan, teladan dari bawah seperti itu perlu disebarkan ke daerah lain dan difasilitasi oleh pemerintah.
Menahan diri
Wakil Ketua Badan Pemenangan Nasional (BPN) Prabowo-Sandi, Mardani Ali Sera, mengatakan, elite perlu terlebih dahulu memberikan teladan bahwa kompetisi dalam politik tetap bisa disikapi secara kooperatif.
Terkait hal itu, penggagas gerakan #2019gantipresiden itu berharap elite BPN sebaiknya tidak mengomentari Tim Kampanye Nasional (TKN) Jowi-Amin, demikian juga sebaliknya.
”Silakan, masing-masing berjuang dengan sikap politiknya. Sebagai penggagas #2019gantipresiden, sejak 13 April, saya menahan diri untuk tidak lagi teriak ganti presiden karena kampanye sudah berakhir. Ganti presiden sudah tutup buku. Siapa pun yang terpilih, suara rakyat harus dihormati. Jika Pak Prabowo, saya sujud syukur. Kalau Pak Jokowi, saya harus siap mengawal sesuai koridor hukum,” kata Mardani.
Secara terpisah, Wakil Ketua TKN Jokowi-Amin, Abdul Kadir Karding, mengatakan, dalam rangka rekonsiliasi politik, tahap awal dialog akan dimulai dengan mempertemukan kedua calon wakil presiden, Ma’ruf Amin dan Sandiaga Uno. Komunikasi sudah dilakukan di antara kedua pihak untuk mencari waktu pertemuan yang tepat dalam waktu dekat.
Upaya ini dilakukan karena melihat kondisi sosial yang semakin terbelah. Komunikasi politik, menurut Karding, perlu segera dicairkan agar masyarakat tidak dibiarkan larut dalam perpecahan yang tajam.
”Keinginan ini sudah sama-sama diutarakan kedua belah pihak, tinggal mendorong agar bisa terwujud cepat. Prinsipnya, pertemuan kedua tokoh ini penting untuk membangun kesadaran berbangsa sekaligus merajut persaudaraan lewat ruang dialog,” katanya.