Sepenggal Cerita dari Desa Ngadas...
Pegunungan Tengger tidak melulu tentang pemandangan eksotik Gunung Bromo dan pesona laut pasir. Lebih dari itu, Tengger juga menyuguhkan keramahan masyarakatnya.
Pegunungan Tengger tidak melulu tentang pemandangan eksotik Gunung Bromo dan pesona laut pasir. Lebih dari itu, Tengger juga menyuguhkan keramahan masyarakatnya.
Akhir pekan lalu, Sabtu (27/4/2019), kami berniat melepas penat dengan menikmati segarnya embusan bayu dan hijaunya padang savana Bromo. Kami memilih mengendarai motor agar sewaktu-waktu bisa berhenti dan singgah ke berbagai tempat dengan mudah.
Dari Kota Malang, pertama kali kami menuju timur, ke arah Kecamatan Tumpang, untuk selanjutnya meneruskan perjalanan menuju Kecamatan Poncokusumo, Kabupaten Malang. Jalur tidak terlalu padat sehingga sekitar 1 jam,kami sudah sampai di depan pintu masuk Coban Pelangi, Kecamatan Poncokusumo.
Kami tidak ingin masuk ke wisata air terjun tersebut. Hanya ingin sedikit menghela napas dan mendinginkan mesin motor sembari minum teh dan kopi panas di warung pinggir jalan. Dari warung, kami melihat lalu lalang jip mengangkut wisatawan dalam dan luar negeri. Akhir pekan, tak heran arah ke Bromo padat.
Pukul 10.30, kami putuskan melanjutkan perjalanan. Jalur di depan mulai berkelok naik turun dengan pemandangan perbukitan dan hutan di kiri dan kanan jalan. Sangat menyegarkan.
Di beberapa titik, sudut kemiringan jalan cukup tinggi sehingga motor harus berjalan zig-zag agar mampu melewatinya. Jika motor tidak kuat, bisa jadi kami harus menuntun kendaraan hingga atas. Namun, jangan khawatir, di lokasi tanjakan curam biasanya ada beberapa tukang ojek siap mengantar siapa pun yang motornya tidak kuat menanjak.
Suku Tengger
Setelah beberapa waktu, sampailah kami di Desa Ngadas. Sebuah desa tertinggi di Kabupaten Malang (biasa disebut negeri di atas awan) dengan ketinggian sekitar 2.200 meter di atas permukaan laut. Warga Desa Ngadas sebagian besar merupakan suku Tengger. Wilayah itu kini menjadi satu-satunya daerah tempat bermukim warga Tengger di Kabupaten Malang.
Jumlah warga di sana adalah 513 keluarga (atau sekitar 1.500 jiwa). Dari jumlah tersebut, sebagian besar warganya merupakan petani. Total lahan pertanian di Desa Ngadas seluas 381 hektar. Wilayah itu dipercayai dibuka oleh sesepuh desa pada tahun 1774.
Oleh karena tidak terburu waktu, dan karena memang berniat menikmati perjalanan, kami singgah ke rumah seorang kenalan warga Tengger Ngadas, yaitu Edi Wiyono. Edi juga merupakan Ketua Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) Sejahtera Desa Ngadas.
Di sana, Edi sedang menerima tamu dari tim pendampingan BUMDes. Kami semua (tim pendamping BUMDes) rupanya saling kenal. BUMDes milik Desa Ngadas menurut rencana akan didorong untuk lebih berkembang. BUMDes bergerak di bidang pertanian, wisata, dan perdagangan.
Rumah Edi terdiri atas dua tingkat. Lantai pertama untuk keperluan keluarga, sedangkan lantai dua berupa dak terbuka menjadi semacam gardu pandang pemandangan Ngadas dari ketinggian.
Rumah terbilang modern, dengan lantai keramik, angin-angin ruangan motif modern, dan jendela-jendela kaca. Lucunya, jendela tersebut tidak pernah dibuka. Bahkan, angin-angin pun hanya seperti hiasan karena bagian belakang ditutup dengan kardus (untuk mencegah angin dingin masuk). Rupanya hawa dingin di Desa Ngadas menjadikan rumah merupakan tempat berlindung paling aman. Suhu udara di sana berkisar 0 derajat celsius hingga 20 derajat celsius.
Ramah dan hangat
Dinginnya suhu Ngadas sangat berkebalikan dengan masyarakatnya. Mereka semua sangat ramah dan menyambut hangat setiap tamu yang datang. Piring berisi tapai goreng dan rebusan kentang pun dengan cepat tersaji, bersanding dengan kopi hangat. Kentang merupakan produk warga Ngadas sendiri. Pertanian utama mereka adalah bertani kentang.
Dinginnya suhu Ngadas sangat berkebalikan dengan masyarakatnya. Mereka semua sangat ramah dan menyambut hangat setiap tamu yang datang.
Dalam sekali musim tanam, produksi kentang warga Tengger mencapai 8-10 ton per hektar. Harga kentang saat ini, kata Edi, mulai naik, yaitu Rp 8.000 per kg di tingkat petani. Sebelumnya, harganya Rp 5.000 per kg.
”Pernah ada upaya menanam bawang. Namun, rupanya tidak terlalu cocok sehingga hasilnya tidak sebaik kentang. Oleh karena itu, semua warga sini lebih senang bertani kentang,” kata Edi.
Setelah sedikit bercakap-cakap, kami pun ditawari makan oleh Edi. Bagi warga Tengger, menjamu tamu adalah salah satu bentuk keramahan yang pantang ditolak. Mereka akan merasa kecewa jika niat baiknya tidak ditanggapi.
Aneka masakan disiapkan di atas meja, yaitu urap, rawon, sambal goreng kentang, kentang goreng, perkedel kentang, dan beberapa menu lain. Tanpa berpikir panjang, kami pun melahap suguhan dengan nikmat. ”Di sini rasanya makan apa saja enak,” ujar salah satu tamu Edi. Makan di tengah hawa dingin pegunungan tentu saja terasa enak.
Oleh karena Edi masih sibuk meladeni urusan BUMDes, kami pun meminta izin melanjutkan perjalanan menuju padang savana Bromo, tujuan utama kami. Kami berjanji akan kembali ke rumahnya sekembali dari tujuan kami.
Menuju padang savana Bromo—sebagian menyebutnya Bukit Teletubbies—dari arah Ngadas tidaklah sulit. Kami tinggal mengikuti jalan utama di desa tersebut hingga kawasan Jemplang, Ngadas. Daerah Jemplang merupakan persimpangan jalan menuju Ranupani Lumajang (arah pendakian Gunung Semeru) serta menuju Gunung Bromo di Kabupaten Probolinggo.
Setelah menempuh jalan cor berkelok selama beberapa menit, sampailah kami di padang savana Bromo. Kami berhenti di kawasan Watugede. Di sana ramai orang beristirahat sambil memandang hijaunya rerumputan dengan latar belakang pegunungan Tengger.
Siang itu, sepasang muda-mudi sedang menjalani sesi foto pranikah. Sekelompok pemuda bermotor bebek juga terlihat melepas lelah di atas rerumputan.
Di kawasan Watugede itu juga tampak sebuah kendaraan membawa menu jualan kopi saset. Tidak jauh dari mereka ada penjual bakso yang bolak-balik melayani pembeli. Kami bersepakat ikut mencicipi semangkuk bakso. Menyantap semangkuk bakso hangat di antara embusan angin dingin padang rumput Bromo pastinya luar biasa.
Kami sengaja berlama-lama di sana dan memang tidak ingin meneruskan perjalanan hingga ke laut pasir (padahal untuk ke laut pasir tinggal sepelemparan galah). Kami sejak awal hanya ingin menyantap bakso hangat di antara dingin dan segarnya hawa pegunungan.
Matahari mulai condong ke barat dan kami segera beranjak kembali ke rumah Edi. Kami sudah bersepakat untuk pulang bersama tim BUMDes. Sebelum rombongan pulang, Edi membawakan dua kantong plastik berisi kentang goreng dan kentang rebus. ”Ini titipan dari Nyonya (istri Edi),” kata Edi memberikannya kepada kami.
Olahraga
Perjalanan pulang sedikit terjeda karena tim pendamping BUMDes harus mencetak beberapa berkas di balai desa. Sambil menunggu mereka selesai, kami menikmati sore dengan menonton pemuda Tengger bermain voli. Para pemuda berpipi merah itu tampak bersemangat olahraga hingga malam menjelang.
Di tengah hujan rintik, kami pun meninggalkan balai desa dan menuju rumah Kepala Desa Ngadas untuk berpamitan (kepala desa tahu kami di sana). Jarum jam sudah menunjukkan pukul 19.00 saat kami sampai di rumah Kepala Desa Ngadas Mujianto.
Mujianto sudah bersiap di ruang tamunya dengan aneka camilan sebagai santapan. Makanan disediakan cukup banyak, mulai dari camilan tradisional hingga modern. Tidak seperti biasanya.
”Kebetulan ini tadi ada acara celuk-celuk tonggo, yaitu acara mengundang tetangga untuk mempererat silaturahmi,” kata Mujianto menjawab pertanyaan kami.
Warga Tengger Ngadas, menurut Mujianto, setahun sekali memiliki kebiasaan adat celuk-celuk tonggo untuk mempererat hubungan. Selain mengobrol, acara tersebut akan ditutup dengan makan bersama.
Kami saling pandang dan tersenyum saat Mujianto menyilakan kami untuk pergi ke dapur dan makan malam. Bagi kami, rasanya perut masih kenyang karena sesiangan sudah makan aneka suguhan. Namun, tetap kami tak bisa menolak tawaran tersebut. Kami makan di dapur rumah Mujianto yang dilengkapi tungku api untuk menghangatkan badan.
Kami pamit pulang saat gerimis mulai tipis. Tiga motor berjalan pelan karena gelap cukup pekat dan kabut sesekali menghambat. Jalur berkelok dengan kanan-kiri jurang membuat motor tak bisa berlari kencang. Apalagi, hujan kembali datang. Malam semakin pekat saat kami menembus gelapnya hutan menuju Kota Malang....