Pilpres 2019 meninggalkan residu berkarat. Ibarat ledakan bom, masih tersisa kepulan asap pekat dan aroma mesiu yang menyengat. Padahal, pemungutan suara sudah dua pekan berlewat. Narasi yang muncul, mulai dari klaim sepihak, tuduhan kecurangan, hingga narasi bernada mendelegitimasi keabsahan pesta demokrasi dan pemerintahan, berebut membentuk opini. Makin parah di media sosial yang sesak dengan jelaga hoaks. Ruang publik tetap saja kumuh. Tensi politik pun terus-menerus tinggi.
Residu seperti itu tak syak lagi efek rivalitas sengit pilpres. Dalam beberapa tahun terakhir, politik telah membelah publik. Sikap masing-masing kubu membatu dan membatin. Itu seperti pilpres di Amerika Serikat saat rivalitas Hillary Clinton dan Donald Trump. Dinamika politik yang persaingannya sangat sengit antara pendukung Demokrat dan Republik justru tidak melahirkan diskusi yang sehat (Patrick Miller dan Pamela Conover, 2015, Red and Blue States of Mind: Partisan Hostility and Voting in the United States).
”Pemilihan umum yang kompetitif membuat Anda lebih membenci pihak lain. Mereka berlawanan 180 derajat. Alih-alih menyatukan untuk saling bicara, mereka malah membuat kita menjadi orang yang penuh kebencian antarsesama warga negara,” ujar Miller.
Dalam konstelasi persaingan politik yang sengit itu, kira-kira muncul pandangan bahwa ”kelompok kami yang baik, kelompok sebelah jahat, karena itu harus dikalahkan”. Tak ayal kebencian sering terekspresi terang-terangan. Dengan begitu, taktik apa saja bisa dibenarkan. Mulai intimidasi pemilih, mencuri atau menipu dalam pemilihan, kekerasan fisik dan ancaman terhadap pihak lain, menebarkan kebohongan, serangan terhadap pribadi lawan, hingga cara-cara untuk mendelegitimasi pemilihan.
Dalam suasana seperti itu, kekecewaan dan kemarahan mudah membuncah. Ini terjadi di AS setelah Trump terpilih menumbangkan Hillary pada 2016. Sebagian rakyat AS merasa mimpi terburuk menjadi kenyataan. Seolah-olah seluruh dunia berantakan dalam satu malam saja.
”Seperti banyak orang, saya terkejut dan terganggu dengan hasil pemilihan. Saya memilih Hillary Clinton dan tidak mengharapkan Trump menang. Saya bangun keesokan paginya dengan perasaan tidak percaya, sedih, marah, cemas, tetapi saya sadar,” tulis Robert Leahy, profesor psikologi klinis di Weill-Cornell University Medical School. Di pagi itu ia berpikir sejenak. ”Mungkin saya harus menggunakan beberapa terapi kognitif pada diri saya sendiri,” kata Direktur American Institute for Cognitive Therapy NYC itu.
Kalah dalam pilpres bukan berarti mati. Begitu juga menang, tidak menjadikan semua hal terkuasai. Bahwa hal itu meninggalkan perasaan terluka tentu hal lumrah. Persoalannya bagaimana kita bisa melewati kekecewaan, kemarahan, dan kecemasan itu? Apa yang mesti dilakukan? Rasanya menarik menyimak terapi pemulihan yang dikemukakan Leahy (After the Election, How Do We Move Forward? 9 November 2016). Pertama, letakkan emosi kita dalam konteksnya. Pilpres paling berpolarisasi akan dipenuhi kemarahan, kecemasan, penghinaan. Banyak yang emosional, apalagi jika hasil pemilihan tak sesuai harapan. Kombinasi antara emosi dan kejutan itu dapat menyebabkan kita terbawa oleh pikiran dan perasaan yang mungkin kuat untuk saat ini, tetapi dapat menghilang seiring waktu. Bagaimanapun juga perasaan akan berubah.
Kedua, mari mengidentifikasi pikiran-pikiran negatif yang umum dimiliki. Misal menyangkut ramalan (ekonomi akan runtuh), kekhawatiran bencana (perang nuklir dan sejenisnya), labelisasi (pihak lawan dituduh bodoh), abai terhadap hal-hal positif (apa yang akan dilakukan takkan ada gunanya), dan pikiran dikotomis (tidak ada pihak baik). Seperti kuatnya pikiran negatif, tampaknya benar-benar dapat dipercaya dan situasinya menakutkan. Ternyata prediksi dan apa yang dipercaya itu tak akurat. Misalnya, ekonomi tidak runtuh di bawah pemerintahan sebelumnya. Karena itu, kata Leahy, kita harus melangkah mundur dan berpikir tentang pikiran kita sebagai pikiran, bukan sebagai kenyataan.
Ketiga, jangan berlebihan memandang posisi presiden. Presiden tidak bekerja sendirian. Ada eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Ada check and balances. Presiden memang punya kuasa, tetapi ia bukan diktator yang begitu berkuasa. Di era otonomi, justru pemerintah daerah yang berkuasa. Keempat, tanyakan pada diri sendiri, bagaimana kehidupan akan berubah? Terkait pilpres tentu ada perubahan. Tetapi, kita akan kembali menjalani rutinitas sehari-hari. Life must go on.
Kelima, ada proses ”memengaruhi perkiraan” saat merujuk pada cara-cara memprediksi emosi masa depan. Saat ini mungkin terpaku pada emosi kegelisahan dan kemarahan sehingga membayangkan itulah yang akan dirasakan di masa depan. Tak perlu demikian. Jangan abaikan faktor mitigasi lain bahwa apa yang terjadi semalam mungkin kurang penting dalam beberapa pekan atau bulan ke depan. Keenam, mungkin saja ada label kandidat lawan digambarkan sebagai ideolog jahat. Tetapi, bisa tidak benar-benar terjadi. Bisa jadi dia mungkin lebih praktis, butuh penasihat cerdas dan kompeten. Separah-parahnya Anda membencinya, dia mungkin lebih hebat karena tokoh terbaik di negeri ini.
Karena itu, pascapilpres ini segeralah membuang residu agar tak terus karatan. ”Jika ingin politik berubah, perlu politikus berani dari kedua belah pihak untuk meyakinkan para pendukung bahwa hanya karena tidak setuju dengan pihak lain tidak berarti pihak lain itu jahat,” kata Miller, ”Anda tidak lebih atau kurang Amerika daripada mereka. Dan, tidak harus saling membenci untuk tidak setuju.” Sembari menanti perhitungan final KPU, menjalin kembali kebersamaan adalah terapi terindah saat ini. Seperti ungkapan bijak, ”Hidup seperti piano, berwarna putih dan hitam. Jika dimainkan maka akan menjadi melodi indah.”