JAKARTA, KOMPAS — Hujan lebat dan gelombang tinggi berpotensi kembali melanda sebagian wilayah Indonesia hingga tiga hari ke depan. Tinggi gelombang di perairan barat Kepulauan Kei dan Laut Banda bagian timur bisa mencapai 6 meter sehingga membahayakan pelayaran.
Saat ini terdeteksi adanya sirkulasi angin di sekitar Laut Banda bagian timur yang membentuk daerah pelambatan dan pertemuan angin di wilayah Indonesia bagian barat dan tengah. Kondisi tersebut meningkatkan potensi hujan lebat di beberapa daerah.
Wilayah-wilayah yang berpotensi hujan lebat dalam tiga hari ke depan antara lain Sumatera Utara, Sumatera Barat, Riau, Jambi, Sumatera Selatan, Bengkulu, Lampung, Jawa Timur, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, Kalimantan Utara, Kalimantan Timur, Maluku, Papua Barat, dan Papua.
”Masyarakat diimbau tetap waspada dan berhati-hati terhadap dampak yang dapat ditimbulkan, seperti banjir, tanah longsor, dan banjir bandang,” kata Deputi Bidang Meteorologi Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) R Mulyono R Prabowo, di Jakarta, Jumat (3/5/2019).
Masyarakat diimbau tetap waspada dan berhati-hati terhadap dampak yang dapat ditimbulkan, seperti banjir, tanah longsor, dan banjir bandang.
Berdasarkan pantauan BMKG, sistem tekanan rendah 1009 hPa muncul di Laut Sumbawa hingga Kepulauan Aru. Kepala Subbidang Produksi Informasi Iklim dan Kualitas Udara BMKG Siswanto mengatakan, sistem tekanan rendah ini akan menguat hingga menjadi siklon tropis sehingga dampaknya terhadap cuaca bisa lebih besar.
Selain memicu potensi hujan lebat, fenomena ini juga menyebabkan kecepatan angin 3-20 knot, dengan kecepatan tertinggi di perairan Kepulauan Tanimbar dan Laut Arafuru bagian tengah dan timur. Kepala Bidang Meteorologi Maritim BMKG Eko Prasetyo menyebutkan, kecepatan angin ini memicu gelombang tinggi.
Gelombang setinggi 2,5-4 meter (m) antara lain terjadi di perairan Samudra Hindia sebelah barat Aceh hingga selatan Jawa dan Bali. Hal ini juga berpotensi terjadi di perairan Kepulauan Letti-Kepulauan Tanimbar, Laut Arafuru bagian tengah dan barat, serta perairan selatan Pulau Seram.
Adapun tinggi gelombang dengan kategori sangat tinggi, yaitu 4-6 meter, berpeluang terjadi di perairan barat Kepulauan Kei dan Laut Banda bagian timur.
Eko mengatakan, kecepatan angin lebih dari 15 knot dan gelombang tinggi di atas 1,25 m berisiko tinggi terhadap keselamatan pelayaran untuk perahu nelayan. Berisiko untuk kapal tongkang jika kecepatan angin 16 knot dan tinggi gelombang di atas 1,5 m. Untuk feri jika kecepatan angin lebih dari 21 knot dan tinggi gelombang di atas 2,5 m. Untuk kapal ukuran besar seperti kargo dan kapal pesiar berisiko jika kecepatan angin lebih dari 27 knot dan tinggi gelombang di atas 4 m.
Siklon tropis
Dalam skala regional, kondisi cuaca saat ini juga bergejolak. Siklon tropis Fani yang disebut terkuat dalam 20 tahun terakhir di wilayah ini dilaporkan bergerak dari Teluk Bengal menuju utara, ke daratan India, dan kemudian berbelok ke arah timur laut menuju wilayah Bangladesh.
Siklon tropis Fani yang disebut terkuat dalam 20 tahun terakhir di wilayah ini dilaporkan bergerak dari Teluk Bengal menuju utara, ke daratan India.
Departemen Meteorologi India, seperti dirilis Pusat Meteorologi Dunia, telah mengeluarkan peringatan untuk curah hujan yang sangat deras di daerah yang berpotensi terdampak, seperti wilayah Odisha, Andra Pradesh Utara, dan Benggala Barat, serta negara bagian lain. Mereka merekomendasikan evakuasi terhadap warga di daerah pantai, penangguhan total operasi penangkapan ikan, serta pengalihan atau penangguhan lalu lintas.
Disebutkan dalam rilis tersebut, kecepatan pusaran angin maksimum siklon Fani ini 190-200 kilometer per jam atau kategori 4 pada skala Saffir Simpson dan melaju hingga 220 kilometer per jam. Gelombang badai (storm surge) setinggi sekitar 1,5 meter di atas pasang tertinggi diperkirakan akan menggenangi dataran rendah di beberapa distrik di Odisha saat siklon ini tiba di daratan.
Data WMO menunjukkan, siklon kuat berkali-kali terjadi di Teluk Bengal dan melanda pantai timur India. Umumnya, hal ini terjadi di akhir musim munson pada November, bukan April. Data menunjukkan, dalam kurun 1965-2017, dari 46 siklon merusak yang terjadi di kawasan ini, hanya dua yang terjadi pada April.