Bagi Iran, pasca-Jumat, 3 Mei 2019, adalah masa tersulit dan terberat selama 40 tahun terakhir sejak revolusi Iran tahun 1979. Masa depan negara Iran yang berbasis sistem politik Velayat e-Fakih akan ditentukan sejauh mana elite Iran secara politik dan ekonomi mampu menghadapi masa sulit pasca-3 Mei tersebut.
Tanggal 3 Mei itu adalah mulai berakhirnya masa dispensasi selama enam bulan yang diberikan Amerika Serikat (AS) kepada delapan negara (China, India, Jepang, Turki, Korea Selatan, Taiwan, Italia, dan Yunani) untuk terus dapat mengimpor minyak dan gas dari Iran. Pencabutan dispensasi itu merupakan bagian terakhir dari rangkaian paket sanksi AS kepada Iran. Sanksi AS kembali dijatuhkan melalui dua tahap setelah pada Mei 2018 Presiden AS Donald Trump membatalkan secara sepihak kesepakatan nuklir Iran tahun 2015.
Sanksi tahap pertama mulai diterapkan pada 7 Agustus 2018, di antaranya meliputi sektor otomotif, logam mulia, dan perdagangan. Sanksi tahap kedua diberlakukan mulai 5 November 2018, meliputi sektor migas dan bank sentral.
Bagi Iran, berakhirnya masa dispensasi bagi delapan negara tersebut menjadi pesan politik dan ekonomi Trump bahwa Trump tidak mau kompromi. Hubungan politik Iran-AS pun kini menghadapi jalan buntu total. Di mata Trump, tidak ada pilihan lain bagi Iran, kecuali melaksanakan 12 butir syarat yang disampaikan Menlu AS Mike Pompeo pada 21 Mei 2018 untuk memulihkan hubungan AS-Iran.
Ke-12 syarat itu, yakni Iran harus mematuhi secara penuh tuntutan Badan Tenaga Atom Internasional (IAEA), membuka secara detail semua program nuklir yang terkait dengan misi militer, menghentikan semua aktivitas pengayaan uranium dan menutup reaktor air berat, mengizinkan tanpa syarat kepada tim IAEA memasuki semua situs nuklir di seantero Iran, dan mengakhiri penyebaran rudal balistik dan rudal yang mampu membawa kepala nuklir.
Syarat selanjutnya, yaitu membebaskan semua tahanan warga AS dan negara sahabat AS di Iran, mengakhiri dukungan terhadap organisasi teroris di seantero Timur Tengah, seperti Hezbollah, Hamas dan Jihad Islami, menghormati kedaulatan negara dan pemerintah Irak serta melucuti senjata milisi Syiah di Irak, mengakhiri dukungan terhadap kelompok Houthi dan mendukung solusi politik di Yaman, menarik pasukan Iran dari Suriah, mengakhiri dukungan terhadap Taliban di Afghanistan dan melindungi aktivis Al-Qaeda di Iran, serta mengakhiri ancaman terhadap negara-negara tetangga di Timur Tengah.
Iran memilih risiko dengan tidak melaksanakan paket 12 syarat dari AS tersebut. Bagi Iran, sanksi AS itu sangat berat, tetapi harus dihadapi. Pasalnya, 64 persen devisa Iran selama ini berasal dari ekspor minyak. Iran mengekspor minyak antara 2,3 juta dan 2,5 juta barel per hari. Sebanyak 450.000 barel minyak diekspor per hari ke Eropa dan 1,8 juta barel minyak per hari ke Asia, sebagian besar ke India dan China.
Tentu AS dan Iran akan beradu kekuatan, melibatkan masing-masing loyalisnya di Timur Tengah.
Tentu AS dan Iran akan beradu kekuatan, melibatkan masing-masing loyalisnya di Timur Tengah. Ini yang membuat AS tidak akan mudah menghadapi Iran saat ini. Peta geopolitik Timur Tengah sudah berubah signifikan, khususnya setelah Musim Semi Arab tahun 2011. Pasca-Musim Semi Arab 2011, geopolitik Timur Tengah terbelah antara dua kekuatan yang berseteru sengit, yakni kubu Turki-Qatar di satu pihak dan kubu Arab Saudi-Mesir-Uni Emirat Arab di pihak lain.
AS dikenal lebih dekat ke kubu Arab Saudi-Mesir-UEA. Sementara Iran lebih dekat ke kubu Turki-Qatar. Para loyalis Iran secara politik kini sedang berada di atas angin. Kelompok Houthi masih mengontrol ibu kota Sana’a di Yaman, rezim Presiden Bashar al-Assad memenangi perang di Suriah, Hezbollah dan gerakan Amal Syiah makin mengontrol Pemerintah Lebanon pasca-pemilu Mei 2018, dan partai-partai Syiah loyalis Iran makin mengontrol pentas politik Irak.
Menelikung sanksi AS
Karena itu, tidak mungkin kubu Turki-Qatar dan para loyalis Iran membiarkan Teheran lumpuh akibat paket sanksi AS. Mereka akan menggunakan segala cara untuk membantu menelikungi sanksi AS terhadap Iran dengan cara membuka jalan ilegal bagi penjualan migas Iran ke mancanegara.
Para loyalis Iran sudah memberikan isyarat politik kepada Trump melalui forum pertemuan antara Kepala Staf Angkatan Bersenjata Iran Mayjen Mohammad Bagheri dan Kepala Staf Angkatan Bersenjata Irak Osman al-Ghani, dan Menteri Pertahanan Suriah Ali Abdullah Ayyoub, pada 17-18 Maret 2019, di Damaskus, Suriah. Pertemuan ini memutuskan untuk membuka jalan darat Teheran-Baghdad hingga Damaskus guna meringankan ekonomi Iran pasca-sanksi AS.
Menurut pengamat ekonomi dan perminyakan asal Irak, Walid Khadouri, AS akan gagal menghentikan sepenuhnya ekspor minyak dan gas Iran ke mancanegara karena banyak jalan untuk menelikungi sanksi AS tersebut. Ia menyebut Iran punya pengalaman menelikungi sanksi AS itu. Sejak revolusi Iran 1979, Teheran sudah terbiasa menghadapi blokade AS.
Menurut Khadouri, Iran dalam perdagangan internasional, khususnya dengan China dan India, bisa memakai jasa perbankan dan lembaga keuangan yang tidak menggunakan mata uang dollar AS. Banyak perbankan semacam itu berada di China dan India saat itu. Ia menyebut pula Iran bisa terus meningkatkan perdagangan dengan negara tetangga, seperti Irak, Turki, dan Pakistan. Pada 2018, Irak tercatat mengimpor komoditas dan gas dari Iran senilai 12 miliar dollar AS.
Sanksi AS tidak akan menutup jalan hubungan perdagangan dunia luar dengan Teheran. Sanksi AS itu mungkin akan melemahkan ekonomi Iran, kata Khadouri, tetapi tak akan menumbangkan rezim para Mullah di Teheran.