Energi Baru China untuk Prakarsa Sabuk dan Jalan
Presiden China Xi Jinping bangga dengan kesepakatan bernilai lebih dari 64 miliar dollar AS yang ditandatangani di Konferensi Tingkat Tinggi Ke-2 Prakarsa Sabuk dan Jalan (Belt and Road Initiative/BRI), akhir April lalu. Kesepakatan itu memberikan kepercayaan diri dan energi baru pada Beijing di tengah keraguan dan kekhawatiran ambisi itu tidak akan menghasilkan pertumbuhan berkelanjutan bagi semua yang terlibat.
”Semakin banyak mitra akan bergabung dalam kerja sama BRI,” kata Xi dalam penutupan KTT, seperti dikutip Reuters. ”Kerja sama ini akan menikmati kualitas yang lebih tinggi dan prospek yang lebih cerah.”
Xi menegaskan, prinsip-prinsip pasar akan berlaku di semua proyek kerja sama BRI. Inisiatifnya untuk menghidupkan kembali jalur sutra lama yang menghubungkan China dengan Asia dan Eropa dijanjikan bakal menghasilkan pembangunan hijau dan berkualitas tinggi. Bersama para pejabat tinggi China, Xi tanpa henti berupaya meyakinkan mitra dan calon mitra BRI bahwa Beijing tidak bermaksud membebani mereka dengan utang tinggi dan ingin BRI menguntungkan semua pihak yang terlibat.
Komunike bersama yang dirilis di akhir KTT menyatakan, para pemimpin telah sepakat memproyeksikan pembiayaan yang menghormati tujuan utang global dan mempromosikan pertumbuhan hijau. Dalam pernyataan terpisah, China mengatakan telah menandatangani nota kesepahaman dengan banyak negara, termasuk Italia, Peru, Barbados, Luksemburg, dan Jamaika.
”Semua itu menunjukkan bahwa kerja sama BRI selaras dengan perkembangan zaman, didukung secara luas, mengedepankan masyarakat, dan bermanfaat bagi semua,” kata Xi.
Data lembaga Refinitiv menunjukkan, nilai total proyek dalam skema BRI telah mencapai 3,67 triliun dollar AS, mencakup negara-negara di Asia, Eropa, Afrika, Oseania, dan Amerika Selatan. Menurut kantor berita Xinhua, sejak BRI diluncurkan pada tahun 2013 hingga 18 April 2019, China telah menandatangani 173 dokumen kerja sama tentang BRI dengan 125 negara dan 29 organisasi internasional.
Pada Maret lalu, Italia menjadi negara G-7 pertama yang mendaftar ke BRI. Ini kemenangan besar Beijing yang menyalakan alarm peringatan di Eropa. Sumber yang akrab dengan BRI menyebutkan, Inggris, Swiss, Austria, Perancis, Spanyol, dan Australia adalah beberapa negara maju yang dapat menandatangani beberapa jenis dokumen dengan China tanpa secara politis mendukung BRI. Lebih dari setengah dari 28 negara anggota Uni Eropa telah menandatangani persetujuan bilateral BRI.
Terkait dengan Indonesia, sebanyak 23 proyek kerja sama dalam skema BRI juga segera direalisasikan. Penandatanganan nota kesepahaman kerja sama itu dilakukan antara pengusaha Indonesia dan China di Beijing di sela-sela KTT BRI. Proyek itu disebutkan tidak menimbulkan utang baru karena kerja sama dilakukan oleh perusahaan Indonesia dan China.
Penandatanganan itu dihadiri Wakil Presiden Jusuf Kalla. Menurut rencana, proyek kerja sama dilaksanakan di koridor Sumatera Utara, Kalimantan Barat, Kalimantan Utara, Maluku, dan Bali. Proyek itu antara lain meliputi pembangunan kawasan industri serta infrastruktur penunjang di Tanah Kuning (Kalimantan Utara) dan pembangunan taman teknologi di Pulau Kura-kura (Bali). Total komitmen investasi dalam kerja sama antar-pengusaha Indonesia-China itu mencapai 14,215 miliar dollar AS.
Jebakan utang
Beberapa negara mitra China mengeluh tentang tingginya biaya proyek BRI. Sejumlah pemerintah Barat melihatnya sebagai sarana untuk menyebarkan pengaruh China di luar negeri. Megaproyek itu juga dinilai bakal meninggalkan negara-negara miskin dengan utang yang tidak berkelanjutan alias proyek itu menimbulkan jerat atau jebakan utang.
Setidaknya tujuh negara sebenarnya telah menyetujui proyek-proyek BRI, lalu menangguhkan, mengurangi, atau menghentikan program ini. Awal April lalu, misalnya, China mencapai kesepakatan dengan Malaysia untuk melanjutkan proyek East Coast Rail Link senilai 44 miliar ringgit (10,7 miliar dollar AS). Jumlah itu turun dari 65,5 miliar ringgit. Kuala Lumpur sempat memutuskan menghentikan proyek itu, Januari lalu, karena Malaysia berjuang untuk mempersempit defisit anggarannya. Pilihan untuk lebih hati-hati dengan BRI juga diambil Pakistan dan Sierra Leone.
Dana Moneter Internasional (IMF) dalam KTT Ke-2 BRI memperingatkan sejumlah negara agar tetap berhati-hati dalam pelaksanaan proyek kerja sama BRI. Proses pengadaan proyek dan penilaian risiko harus dilakukan secara transparan untuk menghindari lonjakan utang. Direktur Pelaksana IMF Christine Lagarde berharap, proyek kerja sama itu dilaksanakan sesuai dengan kebutuhan sehingga tidak terjadi lonjakan utang pemerintah dan korporasi. Risiko akibat peningkatan utang saat ini cukup tinggi mengingat pertumbuhan ekonomi global yang diproyeksikan makin lambat.
”Sejarah sudah mengajarkan kepada kita. Jika tidak dikelola secara hati-hati, investasi infrastruktur dapat menyebabkan peningkatan utang yang problematik,” kata Lagarde. ”Seperti yang saya katakan sebelumnya, agar sepenuhnya berhasil, pelaksanaan BRI seharusnya hanya dilakukan di tempat yang diperlukan dan berkelanjutan dalam segala aspek.”
Pemerintah China menyatakan tekad untuk membangun kerangka kerja keberlanjutan utang dalam proyek itu. Hal itu semata-mata guna mencegah dan menyelesaikan risiko utang, sekaligus upaya Beijing menghilangkan ketakutan semacam itu. Untuk mengatasi beberapa kekhawatiran, Beijing mengambil berbagai langkah untuk melakukan kontrol lebih besar atas program, aturan yang lebih jelas untuk perusahaan milik negara, membatasi penggunaan merek BRI, dan mendorong proses audit oleh auditor luar negeri dan mekanisme penegakan anti-korupsi.