Mencari Sebab Gugurnya Para Petugas Pemilu
Lebih dari 400 petugas penyelenggara Pemilu 2019 meninggal dunia, menyisakan duka di wajah-wajah anggota keluarga yang ditinggalkan. Kini upaya mencari faktor penyebab dan pemicu kematian penyelenggara pemilu itu dirintis. Sebuah ikhtiar agar kelak tak lagi banyak petugas pemilu yang gugur.
Khonifatun Nasikhah (26) lebih banyak tertunduk lesu di kediamannya di Pisangan Timur, Kecamatan Pulogadung, Jakarta Timur. Rabu (1/5/2019) itu merupakan hari kelima setelah ia keguguran kandungan yang berusia delapan pekan. Ia beberapa kali mengusapkan tisu ke wajah dan mencium aroma dari botol minyak kayu putih. Tidak ada sepatah kata pun yang terucap.
Khonifatun merupakan salah seorang pengawas tempat pemungutan suara (TPS) di Pisangan Timur. ”Kami mengetahui kehamilan dua minggu sebelum pencoblosan (surat) suara,” kata Abdul Aziz (24), suami Khonifatun.
Ia dan ibunya, Sri Supriyadi (60), tidak menyangka jam kerja Khonifatun pada perhelatan Pemilu 2019 menjadi sedemikian panjang. Pada saat pemungutan suara 17 April, ia bertugas sejak pagi sekali. Sebab, pukul 07.00 TPS sudah harus dibuka. Tugasnya baru selesai pukul 04.00 keesokan harinya. ”Tahu begitu, enggak dikasih izin,” kata Sri.
Tantangan dan waktu kerja penyelenggara pemilu di TPS memang lebih berat pada Pemilu 2019. Untuk pertama kalinya pemilihan anggota legislatif dan pemilihan presiden-wakil presiden diselenggarakan dalam satu hari.
Duka juga menyelimuti Sukaesih (58) yang tinggal di Kelurahan Pisangan Baru, Kecamatan Matraman, Jakarta Timur. Namun, Sukaesih mulai mengikhlaskan kepergian suaminya, Rudi Mulia Prabowo (57). Rudi adalah ketua Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) yang meninggal 22 April atau lima hari setelah hari pemungutan suara.
Tahun ini merupakan kali ketiga Rudi terlibat sebagai KPPS. Namun, baru tahun inilah ia didapuk sebagai ketua. Beban tanggung jawab jabatan itu membuat Rudi, yang empat tahun terakhir pensiun dari pekerjaannya sebagai petugas keamanan, bekerja ekstra keras. Bahkan, dua hari sebelum pemungutan suara, ia sibuk memasang tenda di TPS.
Selama bertugas, ia juga hampir tidak meninggalkan TPS. Bahkan, saat buang air kecil, ia meminta anaknya yang bertugas sebagai saksi di TPS tersebut menggunakan video call agar ia tetap bisa mengawasi kondisi TPS dan memastikan keamanan kotak suara berikut surat suaranya.
Sukaesih menambahkan, salah satu tantangan terbesar bagi suaminya dalam pemilu tahun ini adalah tekanan psikis. Hal itu di antaranya terekam dalam benak Sukaesih tatkala mengingat perbincangan Rudi dengan anak mereka. Sebagian di antaranya berisi ungkapan hati Rudi soal masih ada saja pihak yang keberatan atas hasil penyelenggara pemilu. ”Kayaknya papah udah kerja maksimal, tetapi masih dibilang ada kecurangan. Kecurangan dari mana?” ujar Sukaesih menirukan ucapan Rudi.
Senin (22/4) pagi, Rudi sempat merawat ibunya yang tinggal tak jauh dari kediamannya. Sekitar pukul 11.00, Rudi tidur sebelum bangun sekitar pukul 13.00. Ia muntah-muntah dan tak lama setelah itu, mengembuskan napas terakhir. Sebelumnya Rudi diketahui keluarga tak ada riwayat penyakit.
Teliti penyebab
Berdasarkan data KPU hingga 3 Mei 2019, ada 412 petugas penyelenggara pemilu yang meninggal. Adapun jumlah petugas penyelenggara pemilu di TPS dari KPU mencapai 5,6 juta orang, sedangkan pengawas TPS dari Bawaslu mencapai 810.000 orang.
KPU mulai menyerahkan santunan Rp 36 juta kepada keluarga penyelenggara pemilu yang meninggal dalam rangkaian tugas.
Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Ari Fahrial Syam saat dihubungi menyampaikan, pihaknya telah mengajukan izin kepada KPU untuk meneliti pencetus dan latar belakang gugurnya ratusan petugas pemilu. Saat ini proposal penelitian tengah disiapkan dan praktiknya diharapkan mulai berlangsung bulan ini.
Menurut Ari, secara umum petugas penyelenggara pemilu mengalami kelebihan jam kerja. Hal ini mengganggu jam biologis sehingga berpotensi membuat sejumlah penyakit kronis yang sudah dimiliki sebagian petugas kambuh.
https://kompas.id/baca/utama/2019/05/03/demokrasi-diharapkan-bisa-menyelamatkan/
Selain kelebihan jam kerja, konsumsi kafein yang cenderung berlebihan dalam kopi atau minuman berenergi, lingkungan kerja di udara terbuka, dan penerangan yang minim juga menambah tekanan tersebut. Ari menambahkan, diketahui pula bahwa 70 persen dari petugas pemilu yang meninggal berusia lebih dari 40 tahun.
Ia menuturkan, ada petugas yang meninggal tak lama setelah bertugas dengan keluhan nyeri ulu hati dan sesak napas. ”Seperti (indikasi) sakit jantung,” sebut Ari.
Ada pula yang beroleh perawatan medis terlebih dahulu dengan tekanan darah melonjak dan mengalami stroke sebelum akhirnya meninggal. Ada pula yang mengalami infeksi paru-paru dan demam tifoid.
”Makanya (perlu) evaluasi (dan) penelitian. Apa, sih, penyebab sebenarnya,” ujar Ari.
Menurut Ari, faktor psikis di tengah tekanan tenggat waktu kerja, bahkan sejak beberapa hari sebelum pemungutan suara, juga menjadi hal lain yang memengaruhi. Hal ini masih ditambah dengan relatif tidak adanya catatan mengenai riwayat kesehatan petugas-petugas tersebut.
Psikiater RS Marzoeki Mahdi, Kasmianto Abadi, menyebutkan, keletihan mental juga dapat membuat kondisi fisik semakin menurun. Kasmianto menggarisbawahi faktor keamanan lingkungan kerja yang memengaruhi tingkat stres pada seseorang. ”Namun, pada lingkungan penuh tekanan kemudian juga lingkungannya menuntut. Itu jadi pengaruhnya bisa terjadi gangguan kejiwaan,” katanya.
Mantan anggota KPU, Hadar Nafis Gumay, prihatin karena pada pemilu ini jumlah penyelenggara pemilu yang meninggal berlipat. Menurut dia, perlu ada respons atas kejadian ini. Salah satunya upaya memberi asuransi untuk petugas pemilu. Akan tetapi, ia menyebutkan bahwa pengaturan untuk mewujudkan hal itu tak mudah.
Selain itu, Hadar juga mendorong untuk dicari proses pemilu yang lebih sederhana dan mudah. ”Saya kira penggunaan teknologi harus terus ditingkatkan,” katanya.
Semoga saja penyebab gugurnya petugas pemilu bisa terungkap. Tentu perlu ditindaklanjuti upaya mencegah agar hal itu tak berulang di pemilu berikutnya.