Tak perlu menjadi profesor atau pakar ekonomi untuk menjaga stok pangan dan harga relatif stabil di negeri ini, khususnya Jakarta. Cukup belajar saja ke pedagang buah timun mas, kurma, atau kolang-kaling.
Oleh
Banu Astono
·4 menit baca
Tak perlu menjadi profesor atau pakar ekonomi untuk menjaga stok pangan dan harga relatif stabil di negeri ini, khususnya Jakarta. Cukup belajar saja ke pedagang buah timun mas, kurma, atau kolang-kaling. Mereka telah teruji mampu menyediakan komoditas itu pada bulan apa pun pada saat hari pertama puasa dalam jumlah cukup dan harga yang stabil.
Muncul pertanyaan, kenapa mereka mampu, sedangkan pemerintah, khususnya Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, tidak? Realitas kecil itu seolah menyentak pikiran semua pihak. Para pedagang kecil di pinggiran jalan Ibu Kota ini mampu menjaga keseimbangan antara permintaan dan pasokan dengan baik. Berapa pun banyaknya kebutuhan konsumen, mampu mereka penuhi dengan harga yang wajar.
Sebaliknya, pemerintah tidak! Harga bahan pangan, seperti telur, cabai, bawang putih, dan bawang merah, terkadang daging ayam dan sapi beberapa pekan menjelang bulan puasa, stabil naik. Konsumen harus menanggung beban kenaikan harga yang tidak wajar. Bahkan di beberapa pasar di daerah DKI Jakarta yang menjadi barometer harga di tingkat konsumen di Bogor, Depok, Tangerang dan Bekasi serta di kota-kota besar di Indonesia, harganya melompat.
Harga bawang putih per kilogram sudah tidak rasional lagi, yakni sekitar Rp 60.000 per kg, bahkan bisa lebih tinggi lagi jika pasokan tetap seret. Padahal, biasanya harga bawang putih sekitar Rp 20.000 per kg. Demikian juga dengan harga telur dan cabai juga naik turun seperti yoyo tanpa diketahui secara pasti penyebabnya.
Apabila benar klaim pemerintah stok pangan cukup, kenapa harga jual tidak terkontrol. Dengan stok yang melimpah, seharusnya pemerintah memiliki kendali penuh untuk menjaga stabilitas harga. Bahkan bisa memukul balik para spekulan untuk menanggung stok yang menumpuk akibat tak terserap pasar.
Langkah itu bisa dilakukan melalui operasi pasar ke konsumen atau pengendalian distribusi ke pedagang eceran melalui BUMD yang bekerja sama dengan BUMN. Tentunya dengan tetap mempertimbangkan kepentingan petani produsen agar tidak terpukul oleh jatuhnya harga panen.
Bisa dilakukan
Jika mau, hal itu sangat mungkin dilakukan oleh Pemprov DKI Jakarta yang memiliki APBD lebih dari Rp 70 triliun. Pemprov bisa menjadikan strategi ketahanan pangan sebagai program prioritas unggulan sepanjang mendapat dukungan penuh dari DPRD DKI Jakarta.
Sebab, sehebat apa pun konsep kebijakan ini dirancang, hanya dengan dukungan dana yang cukup, sumber daya yang baik, dan BUMD yang profesional, tetap tidak akan berjalan. Butuh dukungan politis yang konkret tanpa syarat apa pun, kecuali komitmen.
Apabila ini bisa dijalankan, bukan saja akan menyejahterakan rakyat, menekan inflasi, dan meredam gejolak politik, melainkan juga akan menjadikan Jakarta sebagai pionir kota manajemen pangan yang baik. Kebijakan ini mendesak dilakukan saat ini mengingat DKI Jakarta bukan hanya sebagai kota metropolitan dan kota bisnis, tetapi juga ibu kota negara yang butuh stabilitas.
Apabila strategi ini mendapat dukungan penuh DPRD, bisa dilakukan melalui efektivitas kerja Satuan Tugas Pangan yang terdiri dari unsur pemerintah dan sejumlah BUMD seperti PT Tjipinang Food Station, Perumda Pasar Jaya, dan PD Dharma Jaya. Satuan tugas ini tidak hanya intensif memonitor dan mengevaluasi gejolak harga pangan yang bisa memicu inflasi, tetapi juga mengkaji peluang baru.
Misalnya membangun stasiun-stasiun dan sentra produksi pangan di daerah-daerah produksi sebagai penyangga pangan di luar Jakarta. Dengan cara melakukan kerja sama bahkan menanamkan investasi ke BUMD di daerah sentra produksi dengan melakukan kontrak pasokan pangan dan bahan pokok secara pasti.
Kerja sama itu, misalnya, dengan daerah penyangga seperti lampung dan Jawa Barat untuk memasok buah dan sayur. Jawa Bara, Jawa Tengah, dan Jawa Timur untuk memasok ayam, telur, dan beras, Bali, NTB, NTT, dan Jawa untuk daging sapi. Bahkan kalau perlu dengan Sulawesi untuk beras, cabai, dan bawang.
Dengan pola ini, bukan saja akan membuat DKI Jakarta memiliki ketahanan pangan yang kuat, tetapi juga bisa menjadi barometer stabilisasi harga. Pada akhirnya, akan menjadi kunci yang kuat dalam pengendalian inflasi kota-kota besar di Indonesia.
Hal yang paling penting Pemprov DKI tak perlu terus-menerus menambah subsidi harga pangan karena naiknya konsumsi dan lonjakan harga yang menguras anggaran tanpa efektivitas yang jelas.
Kita seharusnya tak perlu terantuk pada lubang yang sama terus-menerus, tanpa pernah ada upaya konkret mengatasinya. Pertanyaannya, adakah komitmen untuk itu demi kepentingan masyarakat yang memberi amanah kepada gubernur selama ini?
Kita seharusnya tak perlu terantuk pada lubang yang sama terus-menerus tanpa pernah ada upaya konkret mengatasinya. Pertanyaannya, adakah komitmen untuk itu demi kepentingan masyarakat yang memberi amanah kepada gubernur selama ini?